Assalamu’alaikum wr wrb.
Selamat siang, izin saya ingin bertanya,
Bolehkah bercerai karena tidak memberi nafkah batin? Jika tidak, bisa apakah bisa diajukan pembatalan pernikahan dan minta ganti rugi? Mengingat pernikahan baru 1 minggu. Sebagai informasi, saya dan pasangan saya beragama Islam.
Terima kasih atas jawabannya. Wassalam
Halo Hairiah,
Terimakasih atas kepercayaan Saudara kepada layanan halo JPN. Adapun jawaban Kami atas pertanyaan Saudara adalah sebagai berikut:
Nafkah Batin dalam Islam
Menurut Khairunnas Jamal dan Awni Ramadanti Cania dalam jurnal yang berjudul Konsep Nafkah Batin dalam Perspektif Al-Quran (hal. 17) nafkah batin adalah nafkah yang bukan kebendaan (immaterial) dalam artian merujuk pada memenuhi keperluan nafsu dan istimta’ (hubungan suami istri) serta aspek kejiwaan dan psikologis dalam hubungan suami istri. Dalam hal ini mencakup interaksi yang penuh kasih sayang kepada istri, perlakuan yang baik kepada istri, menggauli dan melayaninya dengan baik penghormatan terhadap istri, serta menjaga hubungan yang baik dengan istri.
Lebih lanjut, nafkah batin ada 2 jenis, yaitu:
Nafkah batin secara biologis adalah nafkah batin untuk memenuhi keperluan nafsu dan istimta’. Kadarnya tidak ditetapkan secara jelas oleh islam, namun suami perlu menyadari bahwa antara perkara yang menjadi tanggung jawabnya ialah memenuhi keinginan nafsu istri, begitupun sebaliknya. Kegagalan memahami dan menyadari hak memenuhi hubungan kelamin antara suami istri menjadi salah satu sebab hilangnya keharmonisan dan menyebabkan perpecahan dalam rumah tangga.
Nafkah batin secara psikologis yaitu nafkah yang berhubungan dengan kejiwaan atau psikis seorang istri. Seperti hal nya suami mampu menggauli istri dengan penuh kasih sayang, tidak kasar terhadap istri, menjaga sopan santun, serta menjalin hubungan dengan baik.
Lantas, bisakah bercerai karena tidak memberi nafkah batin?
Perceraian karena Tidak Memberi Nafkah Batin
Menjawab pertanyaan Anda, kami akan merujuk pada ketentuan UU Perkawinan dan perubahannya, serta peraturan pelaksananya. Selain itu, bagi umat islam berlaku juga ketentuan dalam KHI.
Pada dasarnya, perkawinan dapat putus karena berbagai alasan, salah satunya perceraian. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Kemudian, dalam melakukan perceraian harus terdapat cukup alasan bahwa antara suami istri tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.
Adapun, alasan-alasan perceraian telah ditentukan secara limitatif, sehingga pasangan suami istri tidak dapat sesuka hati bercerai. Pasal 19 PP 9/1975 jo. Pasal 116 KHI telah menentukan alasan perceraian sebagai berikut:
Kemudian, pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian apabila memang terdapat alasan-alasan perceraian di atas, dan pengadilan berpendapat bahwa antara suami istri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Menurut hemat kami, istri yang tidak diberikan nafkah batin oleh suami, dapat menjadi salah satu alasan perceraian, karena hal ini berpotensi mengakibatkan perselisihan dan pertengkaran antara suami dan istri secara terus-menerus, sehingga tidak ada harapan suami dan istri hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa tidak diberikannya nafkah batin merupakan salah satu sebab hilangnya keharmonisan dan menyebabkan perpecahan dalam rumah tangga.
Contoh Kasus
Sebagai contoh kasus, dalam Putusan PA Bulukumba Nomor 682/Pdt.G/2018/PA.Blk, tergugat tidak dapat memberikan nafkah batin kepada penggugat sejak awal pernikahannya sampai berpisah tempat tinggal. Selain secara batin, tergugat juga kurang menafkahi secara lahir (hal. 2).
Atas fakta-fakta hukum tersebut, majelis hakim berpendapat bahwa ketentuan Pasal 19 huruf f P 9/1975 dan Pasal 116 huruf f KHI telah terpenuhi, karenanya tuntutan pokok penggugat untuk bercerai dengan tergugat beralasan menurut hukum.
Pembatalan Perkawinan
Menjawab pertanyaan Anda mengenai pembatalan perkawinan, berdasarkan artikel Alasan, Tata Cara, dan Tahapan Pembatalan Perkawinan, Andi Hamzah menerangkan bahwa yang dimaksud dengan pembatalan perkawinan adalah suatu tindakan pembatalan suatu perkawinan yang tidak mempunyai akibat hukum yang dikehendaki karena tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum atau peraturan perundang-undangan. Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada pengadilan daerah hukum di mana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami istri, suami atau istri.
Mengenai pembatalan perkawinan, Pasal 27 UU Perkawinan jo. Pasal 72 KHI menyatakan sebagai berikut:
Selain itu, perlu juga diperhatikan bahwa Pasal 71 UU KHI secara khusus mengatur bahwa suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:
Berkaitan dengan prosedur pembatalan perkawinan, tata cara pengajuannya dilakukan sesuai dengan tata cara pengajuan gugatan cerai, yaitu pengajuan gugatan, pemanggilan, persidangan, perdamaian, dan putusan.
Sebagai informasi, ketentuan mengenai pembatalan perkawinan dapat Anda temukan dalam Pasal 22 s.d. Pasal 28 UU Perkawinan, dan Pasal 70 s.d. Pasal 76 KHI.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak diberikannya nafkah batin tidak dapat menjadi suatu alasan dilakukannya pembatalan perkawinan. Oleh karena itu, dalam hal pasangan suami istri ingin memutuskan hubungan perkawinan, maka harus dilakukan dengan perceraian, bukan pembatalan perkawinan.
Demikian Kami sampaikan, apabila Saudara masih memiliki pertanyaan yang ingin disampaikan, Saudara dapat berkonsultasi secara langsung ke Pos Pelayanan Hukum Kami yang berada di Kantor Pengacara Negara pada Kejaksaan Negeri Barito Kuala secara gratis.
Siapa yang bertanggung jawab untuk me
Bagaimana kedudukan hukum perjanjian