Perkenalkan nama Sintia, saya boleh berkonsultasi tentang pewarisan, saya dari Bali dan kebetulan saya dua bersaudara dimana saudara laki-laki saya sudah menikah dan pindah agama mengikuti sang istri maka secara otomatis di dalam adat daerah saya, saya menjadi penerus dari keluarga saya. Bisakah saya menjadi ahli waris yang sah menurut hukum di Indonesia, dimana yang kita tahu bahwasanya daerah di Indonesia menganut sistem Patrilineal, Terimakasih.
Terima kasih atas kepercayaan Saudara kepada halo JPN. Adapun jawaban Kami atas pertanyaan Saudara adalah sebagai berikut:
Untuk menjawab pertanyaan Saudara terkait Pewarisan. Pada dasarnya kita mengetahui dalam Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 yang menyatakan, Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Di Indonesia sistem hukum kewarisan saat ini berdasarkan pada KUHPerdata, hukum waris berdasarkan adat dan hukum waris Islam. Hukum waris berdasarkan adat sangatlah beragam dari sifat kedaerahannya, oleh sebab itu di Indonesia terdapat beraneka sistem hukum kewarisan yang berlaku bagi warga Negara Indonesia. Perlu diketahui bahwa sistem kekerabatan di Indonesia diklasifikasikan atas tiga golongan, yakni patrilineal, matrilineal, dan parental atau bilateral. Klasifikasi kekerabatan ini mempengaruhi pembagian harta warisan dalam hukum waris adat. Patrilineal merupakan sistem kekerabatan yang menarik garis dari pihak Bapak. Hal ini membuat kedudukan pria lebih menonjol dibandingkan wanita dalam hal pembagian warisan. Contoh daerah yang menganut sistem kekerabatan ini dalam hal hukum waris adat adalah Lampung, Nias, NTT, dan lainnya. Matrilineal merupakan sistem kekerabatan yang ditarik dari garis pihak Ibu. Hal ini membuat kedudukan wanita lebih menonjol daripada kedudukan dari garis Bapak. Contoh daerah yang menganut sistem kekerabatan ini dalam hal hukum waris adat adalah Minangkabau, Enggano, dan Timor. Parental atau bilateral merupakan sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari kedua belah pihak, Bapak dan Ibu. Dalam sistem kekerabatan ini kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan dalam hal mewaris adalah sama. Contoh daerah yang menganut sistem ini adalah Sumatera Timur, Sumatera Selatan, Riau, dan Kalimantan.
Mungkin maksud saudara mengenai ahli waris yang sah di Indonesia itu menurut hukum adat di Bali (karena dari KTP Anda berasal dari Bali dan beragama Hindu). Menurut Buku dari I Gusti Ketut Sutha, 1987 tentang Bunga Rampai Beberapa Aspek Hukum Adat masyarakat Adat Bali menganut sistem kekerabatan Patrilineal dan sistem kewarisan mayorat. Sistem kekerabatan Patrilineal diambil dari garis keturunan bapak/laki-laki yang menyebabkan adanya kejomplangan antara hak seorang laki-laki dengan perempuan dalam sistem waris di Bali. Laki-laki memiliki kedudukan yang tinggi dan sangat penting didalam masyarakat Bali. Walaupun dalam hal ini anak perempuan merupakan anak kandung dan diperoleh dari pernikahan yang sah, tetap saja anak perempuan tersebut tidak mendapatkan harta warisan. Sistem kewarisan tersebut tidak terlepas dari aliran kitab Manawa Dharmasastra yang merupakan salah satu kitab hukum bagi umat Agama Hindu, karena mayoritas orang Bali menganut agama Hindu. Pada intinya,ahli waris atau harta waris peninggalan akan diturunkan dan diteruskan untuk anak laki-laki.
Pada kasus di atas yang dimana anak laki-laki dari dua bersaduara (saudara yang satunya perempuan) yang sebenarnya seharusnya menjadi ahli waris itu adalah saudara laki-laki Anda, namun menikah dan selanjutnya pindah agama karena mengikuti agamanya si perempuan. Dalam hukum adat waris bali, wanita dapat menjadi pewaris apabila telah mengubah status perkawinanya menjadi purusa sesuai pada perkawinan nyeburin atau nyentana. Perkawinan Nyeburin merupakan bentuk perkawinan menurut adat dan agama Hindu di Bali dimana si perempuan berstatus sebagai purusa dan si laki-laki selaku pradana.
Lain halnya dengan perempuan sebagai istri, mempunyai kedudukan hukum dalam lingkungan keluarga suaminya. Kedudukan wanita Bali setelah dikeluarkannya Keputusan Pesamuhan Agung III MUDP (Majelis Utama Desa Pekraman Bali) Bali merupakan sebuah jalan yang baik untuk memperkuat hukum adat waris Bali yang sudah lama berlaku di masyarakat Bali yang mana mendiskriminasikan wanita akan tidak berhaknya mewaris. Dengan adanya keputusan Pesamuhan III MUDP Bali (Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP-BALI/X/2010) ini kedudukan wanita dapat mewaris dalam keluarganya atau dengan kata lain dapat menjadi ahli waris. Dalam keputusan Pesamuhan Agung III/2010 menyatakan kedudukan suami istri dan anak terhadap harta pusaka dan harta gunakaya, termasuk hak waris anak perempuan baik itu anak kandung maupun anak angkat. Secara singkat keputusannya ialah sebagai berikut : sesudah 2010 wanita di bali berhak atas warisan berdasarkan keputusan Pesamunan Agung III MUDP Bali No. 01/Kep/PSM-3MDP Bali/X/2010, 15 Oktober 2010.
Dalam surat keputusan ini wanita bali menerima setengah dari hak waris purusa setelah dipotong 1/3 untuk harta pusaka dan kepentingan pelestarian. Hanya jika kaum wanita bali yang pindah ke agama lain, mereka tak berhak atas hak waris, jika orangtuanya iklas, tetap terbuka dengan memberikan jiwa dana atau bekal sukarela.
Jadi, masyarakat hukum Adat Bali mengenal istilah kepurusayang artinya anak laki-laki bersifat ajeg, sedangkan anak perempuan berubah dikarenakan mengikuti pihak suami. Atas dasar tersebut, anak perempuan tidak diperhitungkan sebagai ahli waris. Selain itu, pewarisan tidak hanya berkaitan dengan pembagian harta waris, namun pewarisan sesungguhnya merupakan penerusan kewajiban dari pemberi waris. Anak laki-laki menjadi ahli waris asli (sentana) karena dianggap sebagai pihak yang meneruskan segala bentuk kewajiban sepertikewajiban kepada orang tua hingga kepada masyarakat adat dan agama. Dengan adanya ketentuan ini, tidak berarti seorang anak perempuan tidak memiliki kewajiban, anak perempuan tetap memiliki kewajiban, namun tidak seberat yang ditanggung oleh anak laki-laki, karenanya mereka juga berhak atas harta orang tuanya, tetapi hanya untuk dinikmati, jika ingin diberikan tidak dilarang, hanya saja namanya bukan warisan, melainkan bekal atau bebaktanatau tetatadan.
Ketentuan ini dapat disimpangi sehingga anak perempuan dalam pewarisan Adat Bali dapat menjadi pewaris dengan catatan anak perempuan tersebut memperoleh status hukum laki-laki (sentana rajeg). Status sentana rajeg dapat diperoleh anak perempuan apabila dalam suatu keluarga tidak terdapat anak laki-laki atau merupakan anak tunggal, sehingga kedua orang tuanya dapat mengangkat anak perempuan mereka sebagai sentana rajegyang memiliki kedudukan yang sama dengan anak laki-laki. Dalam perkawinannya, anak perempuan sentana rajegini akan melakukan kawin nyeburin, yaitu pihak perempuan dengan status sentana rajegakan melakukan lamaran kepada pihak laki-laki, sehingga pihak laki-laki akan keluar dari silsilah keluarganya dan bergabung dengan keluarga pihak perempuan. Sehingga kedudukan pihak laki-laki pada keluarga istrinya ialah sebagai meawak luh (pihak perempuan) dan istrinya berstatus sebagai meawak muani (pihak laki-laki), kemudian keturunan yang lahir dalam perkawinan ini merupakan keturunan dari pihak ibu. Kesimpulannya, wanita Bali dapat menjadi pewaris asalkan tidak menikah keluar adat dan agamanya, dan mengubah status perkawinanya menjadi purusa.
Demikian Kami sampaikan, apabila Saudara masih memiliki pertanyaan lain yang ingin disampaikan, Saudara dapat berkonsultasi secara langsung ke Pos Pelayanan Hukum Kami yang berada di Kantor Pengacara Negara pada Kejaksaan Negeri Buleleng secara gratis.