Supported by PT. Telkom Indonesia
Jumat, 22 Nov 2024
Quality | Integrity | No Fees
2023-03-15 11:26:43
Pernikahan dan Perceraian
APA SAJA SYARAT UNTUK MENGAJUKAN PERCERAIAN DAN APA SAJA HAK YANG AKAN DIDAPATKAN SELAKU ISTRI DAN ANAK

Saudara perempuan saya ingin mengajukan perceraian dengan suaminya dikarenakan ada permasalahan dalam rumah tangga mereka. Saya ingin membantu saudara saya dengan mencari informasi persyaratan yang harus dipersiapkan untuk mengajukan perceraian dan kira - kira apa saja hak yang akan didapatkan saudara saya sebagai istri beserta anak - anaknya nanti

Dijawab tanggal 2023-03-16 15:56:01+07

Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Sdri. SULIMAH atas kepercayaannya kepada Tim Jaksa Pengacara Negara pada Kejaksaan Negeri Serang untuk meminta solusi atas permasalahan yang di alami.

Berdasarkan pertanyaan yang saudari sampaikan, saudari tidak memberikan keterangan perihal agama yang dianut pihak yang hendak mengajukan gugatan perceraian. Oleh karena itu, kami akan menyampaikan syarat dan akibat yang ditimbulkan dari perceraian berdasarkan ketentuan bagi orang yang beragama non-Islam dan bagi orang yang beragama Islam.

Ketentuan mengenai perkawinan serta akibatnya bagi orang yang beragama non-Islam diatur pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU No. 1/1974”), Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU No. 16/2019”), dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“PP No. 9/1975”)

Sebelum melakukan gugatan perceraian, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa apabila seorang istri ingin megajukan gugatan perceraian, maka harus didasari dengan alasan yang jelas. Pasal 19 PP No. 9/1975 telah mencantumkan alasan-alasan terjadinya perceraian, yaitu :

  1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
  2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
  3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
  4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
  5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
  6. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Sehingga, saudari dapat mempertimbangkan terlebih dahulu tentang keinginan untuk melakukan gugatan tersebut. 

Apabila dirasa sudah yakin untuk tetap ingin mengajukan gugatan, maka berdasarkan Pasal 21 ayat (1) PP No. 9/1975, saudari dapat mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Negeri di wilayah hukum dimana saudari bertempat tinggal apabila alasan saudari sebagaimana pada Pasal 19 angka 2. Sedangkan, berdasarkan Pasal 22 ayat (1) PP No. 9/1975, apabila saudari menggugat suami saudari karena alasan pada Pasal 19 angka 6, maka saudari dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri di wilayah hukum dimana suami saudari bertempat tinggal.

Berdasarkan Pasal 39 UU No. 1/1974, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan telah berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Perceraian baru dapat terjadi apabila ada alasan yang cukup bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.

Hakim pada Pengadilan Negeri kemudian melakukan pemeriksaan gugatan perceraian selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya berkas/surat gugatan perceraian (Pasal 29 PP No. 9/1975). Apabila tercapai perdamaian selama perkara belum diputuskan, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru dengan alasan yang sebelumnya (Pasal 32 PP No. 9/1975). Namun, apabila perdamaian tidak dapat tercapai, maka pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup (Pasal 33 PP No. 9/1975). Kemudian, Putusan terhadap gugatan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka dan perceraian tersebut dianggap terjadi serta segala akibat-akibatnya terhitung sejak saat didaftarkan pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh Pegawai Pencatat (Pasal 34 PP No. 9/1975).

Pasal 41 UU No. 1/1974 telah mencantumkan akibat-akibat yang ditimbulkan dari putusnya perkawinan karena perceraian, yaitu:

  1. Putusnya perkawinan karena perceraian tidak menghilangkan kewajiban baik ibu atau bapak untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya, namun apabila terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak, maka akan diputuskan oleh Pengadilan;
  2. Biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak merupakan tanggung jawab bapak, namun apabila bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
  3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

Dalam hal pihak yang hendak mengajukan gugatan perceraian menganut agama Islam, maka ketentuan yang berlaku adalah ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam (“KHI”), Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Menurut Pasal 114 dan Pasal 115 KHI, putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Hakim telah berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Pada dasarnya, alasan-alasan mengajukan perceraian menurut KHI sama seperti dalam Pasal 19 PP No. 9/1975, namun dalam Pasal 116 KHI terdapat 2 (dua) alasan lain untuk mengajukan perceraian, yaitu:

  1. Suami melanggar taklik talak;
  2. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.

Berdasarkan Pasal 132 KHI, isteri atau kuasanya dapat mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya berada di tempat tinggal isteri, kecuali isteri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami. Kemudian, Hakim melakukan pemeriksaan gugatan perceraian selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya berkas atau surat gugatan perceraian (Pasal 141 ayat (1) KHI).

Sama halnya dengan ketentuan Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 34 PP No. 9/1975, apabila terjadi perdamaian maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru dengan alasan yang sama (Pasal 144 KHI) dan apabila perdamaian tidak tercapai maka pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup (Pasal 145 KHI). Putusan mengenai gugatan perceraian dilakukan dalam sidang terbuka, dan perceraian tersebut dianggap terjadi beserta segala akibatnya terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (Pasal 146 KHI).

Putusnya perkawinan karena perceraian menimbulkan beberapa akibat sebagaimana yang telah dicantumkan dalam Pasal 156 KHI, yaitu:

  1. anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dan ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh: 
    a. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;
    b. ayah;
    c. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
    c. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan; 
    d. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
  2. anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya;
  3. apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaann kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula;
  4. semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun);
  5. bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan angka 1, 2 dan 4;
  6. pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.

Sedangkan terhadap harta bersama dibagi menurut Pasal 97 KHI, yaitu janda atau duda masing-masing berhak atas seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian terhadap pemeliharaan anak juga telah diatur dalam Pasal 105 KHI, yaitu:

  1. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
  2. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;
  3. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

Demikianlah jawaban kami, apabila ada hal-hal yang sekiranya ingin ditanyakan kembali, silahkan datang langsung ke Kantor Jaksa Pengacara Negara pada Kejaksaan Negeri Serang yang beralamat di Jl. Jaksa Agung Soeprapto Km. 3 Serang, Banten.

Jika anda kurang puas dengan jawaban ini, silakan berkonsultasi lebih lanjut dengan Jaksa Pengacara Negara pada
KN. SERANG
Alamat : Kejaksaan Negeri Serang, Jl. Raya Pandeglang No.km 3, Tembong, Kec. Cipocok Jaya, Kota Serang, Banten 42117 (Silahkan ajukan pertanyaan melalui website, tidak melalui direct WA)
Kontak : 82100000000

Cari

Terbaru

Hutang Piutang
pembatalan lelang

halo selamat siang kejaksaan sengeti

Pernikahan dan Perceraian
NAFKAH ANAK

Halo Bapak/Ibu. Perkenalkan nama saya

Pertanahan
Jual Beli Tanah dan Bangunan

Halo Bapak/Ibu, perkenalkan saya Iwan

Pernikahan dan Perceraian
perceraian

Min ijin bertanya, mengenai nafkah ba

Hubungi kami

Email us to [email protected]

Alamat

Jl. Sultan Hasanuddin No.1 Kebayoran Baru Jakarta Selatan - Indonesia
© 2024 Kejaksaan Republik Indonesia.