Selamat siang, Saya ingin bertanya tentang klaim asuransi jiwa yang ditolak. Ceritanya, debitur meninggal dunia karena kecelakaan. Tapi terjadi penolakan oleh pihak asuransi karena debitur meninggal karena kecelakaan yang disebabkan melanggar hukum, yaitu debitur menyalip dari sisi sebelah kiri jalan. Akan tetapi, di perjanjian polis tidak disebutkan hal tersebut dikecualikan. Yang dikecualikan adalah jika debitur meninggal karena bunuh diri. Apakah hal tersebut benar? Alasan apa saja yang bisa menggugurkan asuransi jiwa? terimakasih
Terima kasih atas kepercayaan Saudara kepada halo JPN. Adapun jawaban Kami atas pertanyaan Saudara adalah sebagai berikut:
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, sebaiknya kita pahami terlebih dahulu pengertian asuransi. Berdasarkan Pasal 246 KUHD, asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian, di mana penanggung mengikat diri terhadap tertanggung dengan memperoleh premi, untuk memberikan kepadanya ganti rugi karena suatu kehilangan, kerusakan, atau tidak mendapat keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dapat diderita karena suatu peristiwa yang tidak pasti. Kemudian, Pasal 255 KUHD mengatur bahwa pertanggungan harus dilakukan secara tertulis dengan akta, yang diberi nama polis.
Asuransi adalah salah satu jenis perjanjian yang diatur dalam KUHD yang tidak terlepas dari syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPer, yaitu:
Meskipun pengaturan tentang isi dari perjanjian asuransi tidak diatur secara spesifik, melainkan atas dasar kesepakatan dan perjanjian kedua belah pihak (tertanggung dan penanggung), menurut hemat kami, perjanjian asuransi harus tetap dilaksanakan dengan iktikad baik, sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPer sebagai berikut:
Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan iktikad baik
Hal tersebut didasari karena pada hakikatnya iktikad baik menjadi prinsip bagi setiap perjanjian asuransi, khususnya asuransi jiwa. Tidak dipenuhinya prinsip ini dapat menyebabkan suatu perjanjian asuransi menjadi gugur. Dengan demikian, pasal-pasal tersebut menjelaskan bahwa setiap pihak yang akan menandatangani suatu perjanjian, wajib untuk terlebih dahulu mengetahui seluruh isi yang ada di dalamnya. Apabila perjanjian tersebut telah ditandatangani, maka perjanjian tersebut wajib untuk dipatuhi dan berlaku bagi undang-undang bagi para pihak yang terikat, termasuk polis dalam sebuah asuransi jiwa.
Perjanjian asuransi jiwa secara spesifik diatur dalam Pasal 302 s.d. Pasal 308 KUHD. Dalam pasal-pasal tersebut terdapat alasan yang dapat menggugurkan perjanjian asuransi jiwa, yaitu:
Pertama, apabila jangka waktu asuransi sebagaimana telah disepakati antara penanggung dan tertanggung dalam polis asuransi telah habis meskipun tidak terjadi suatu peristiwa, maka risiko penanggung juga berakhir. Dengan kata lain, asuransi jiwa dapat berakhir sejak jangka waktu berlaku asuransi habis. Hal ini diatur dalam Pasal 302 KUHD yang menyatakan:
Jiwa seseorang dapat dipertanggungkan untuk keperluan orang yang berkepentingan, baik untuk selama hidup ataupun untuk suatu waktu yang ditentukan dengan perjanjian.
Kedua, apabila pada saat diadakannya asuransi si tertanggung telah meninggal dunia, hal tersebut dapat menggugurkan perjanjian asuransi, sebagaimana diatur dalam Pasal 306 KUHD, yaitu:
Bila orang yang jiwanya dipertanggungkan pada waktu pengadaan pertanggungan telah meninggal dunia, gugurlah perjanjian itu, meskipun tertanggung tidak dapat mengetahui tentang meninggalnya itu; kecuali bila dipersyaratkan lain.
Ketiga, apabila meninggalnya tertanggung dikarenakan bunuh diri atau dikenai hukuman mati, maka gugurlah perjanjian asuransi tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 307 KUHD yang menyatakan:
Bila orang yang mempertanggungkan jiwanya bunuh diri atau dihukum mati, gugurlah pertanggungannya.
Selanjutnya, Pasal 35 ayat (3) UU 40/2014 juga mengatur mengenai keanggotaan pada perusahaan asuransi dapat berakhir apabila:
Kemudian, berdasarkan praktik kami, dalam suatu polis asuransi jiwa terdapat ketentuan mengenai jangka waktu keberlakuan asuransi jiwa atau masa tunggu (waiting period). Dalam hal ini, masing-masing perusahaan asuransi memiliki ketentuan yang berbeda pada setiap polisnya. Oleh karena itu, penting untuk diperhatikan mengenai masa tunggu asuransi, masa tunggu dalam polis asuransi jiwa di Indonesia beraneka ragam, berkisar antara 30 hari hingga 12 bulan. Pada masa tunggu ini, apabila tertanggung meninggal dunia atau luka-luka sebelum masa tunggu terlampaui, maka tertanggung tidak dapat mengajukan klaim sebelum masa tunggu terlampaui.
Sebagai contoh, terdapat ketentuan lain dalam polis asuransi yang dapat menggugurkan pertanggungan asuransi jiwa, di antaranya:
Dengan demikian, menurut hemat kami menjadi penting bagi setiap pihak yang akan atau telah mengikatkan diri dalam sebuah polis asuransi jiwa untuk mengetahui perjanjian apa saja yang akan atau telah mengikat bagi para pihak dalam polis tersebut.
Lalu, bagi seseorang yang meninggal karena kecelakaan dan diduga telah melakukan pelanggaran lalu lintas, dugaan tersebut harus terlebih dahulu dibuktikan kebenarannya sebagaimana telah dijelaskan dalam Pasal 109 UU LLAJ yaitu:
Kemudian, berdasarkan Penjelasan Pasal 109 ayat (2) UU LLAJ, yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" adalah jika lajur sebelah kanan atau paling kanan dalam keadaan macet, antara lain akibat kecelakaan lalu lintas, pohon tumbang, jalan berlubang, genangan air, kendaraan mogok, antrean mengubah arah, atau kendaraan bermaksud berbelok kiri.
Sehingga, perlu dipahami bahwa pengemudi yang akan mendahului kendaraan lain harus menggunakan lajur kanan dari kendaraan yang akan dilewati, kecuali lajur kanan sedang dalam keadaan tertentu. Apabila pengemudi tetap menggunakan lajur kiri dari kendaraan yang akan dilewati, tanpa mengindahkan kondisi lajur kanan dalam keadaan tertentu, maka keputusan untuk mendahului dari sebelah kiri dapat membahayakan nyawa diri sendiri bahkan nyawa orang lain. Karena, pada dasarnya, orang yang mengemudikan kendaraan bermotor dengan cara yang membahayakan nyawa berpotensi diancam dengan pidana penjara atau denda sebagaimana diatur dalam Pasal 311 UU LLAJ.
Namun, yang berwenang untuk memastikan mengenai benar atau tidaknya pengemudi tersebut mengemudi dengan cara yang membahayakan adalah pihak kepolisian. Selanjutnya, perkara pelanggaran lalu lintas tersebut akan diputus melalui putusan pengadilan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 230 jo. Pasal 260 UU LLAJ.
Kesimpulannya, apabila tertanggung meninggal dunia dikarenakan kecelakaan lalu lintas dan tertanggung sudah terbukti di pengadilan telah melakukan pelanggaran lalu lintas, maka pihak asuransi berhak melakukan penolakan klaim asuransi jiwa. Namun, jika tertanggung tidak terbukti melakukan pelanggaran lalu lintas yang menyebabkan kecelakaan, dan pengecualian atas meninggal karena kecelakaan lalu lintas juga tidak tercantum dalam ketentuan polis sebagaimana keterangan Anda, maka perusahaan asuransi tidak dapat mengelak dari kewajiban membayarkan uang pertanggungan atas meninggalnya almarhum.
Demikian Kami sampaikan, apabila Saudara masih memiliki pertanyaan lain yang ingin disampaikan, Saudara dapat berkonsultasi secara langsung ke Pos Pelayanan Hukum Kami yang berada di Kantor Pengacara Negara pada Kejaksaan Negeri Landak secara gratis.