Ketika terjadi pembatalan perkawinan antar pasangan Muslim, siapa yang mengasuh anak yang lahir dari perkawinan yang dibatalkan itu? Dan apakah anak tersebut punya hubungan kewarisan?
Terima kasih atas kepercayaan Saudari kepada Halo JPN. Adapun jawaban kami atas pertanyaan Saudari adalah sebagai berikut:
Pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 22 Pasal 28 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) dan diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaannya, yakni Pasal 37 dan Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (PP Perkawinan).
Pasal 22 UU Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Pembatalan perkawinan bisa berimplikasi pada status perkawinan yang dianggap tidak pernah ada (batal demi hukum) atau batal sejak dibatalkan oleh pengadilan. Pengadilan yang berwenang untuk membatalkan perkawinan adalah pengadilan yang daerah kekuasaannya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau di tempat tinggal suami istri, tempat tinggal suami atau tempat tinggal istri. Bagi mereka yang beragama Islam, pembatalan dilakukan di Pengadilan Agama, sedangkan bagi mereka yang beragama non-Islam, pembatalan dilakukan di Pengadilan Negeri.
Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan serta Perlindungan terhadap Hak Anak :
Dalam Pasal 28 ayat (1) UU Perkawinan disebutkan bahwa akibat hukum batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
Anak-anak yang lahir dari perkawinan yang dibatalkan tersebut tetap berkedudukan sebagai anak sah. Dengan demikian, anak tetap menjadi tanggung jawab kedua belah pihak, suami dan istri. Kedua orang tua tetap berkewajiban mendidik dan memelihara anak tersebut berdasarkan kepentingan si anak.
Terhadap anak perempuan, maka ayah kandung berhak pula menjadi wali nikah. Dalam hal terjadi kewarisan, maka anak masih memiliki hak waris dari kedua orang tuanya, serta memiliki hubungan kekeluargaan pula dari kedua pihak orang tuanya.
Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum kepada anak yang telah dilahirkan dalam suatu perkawinan. Perlindungan anak dimaknai segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Demikian kami sampaikan, apabila Saudari masih memiliki pertanyaan lain yang ingin disampaikan, Saudari dapat berkonsultasi secara langsung dan gratis ke Pos Pelayanan Hukum yang berada di Kantor Pengacara Negara pada Kejaksaan Negeri Luwu Utara.