Mama mertua istri saya menyuruh anaknya untuk berpisah dari saya suaminya. adakah hukumnya mama mertua istri ikut campur urusan rumah tangga anaknya? apakah bisa saya mengajukan tuntutan untuk mama mertua biar ada efek jera? apakah bisa saya mendapatkan hak asuh anak?
Terima kasih atas kepercayaan Saudara kepada halo JPN. Adapun jawaban Kami atas pertanyaan Saudara antara lain sebagai berikut :
Pada umumnya, sebelum seseorang melakukan Perkawinan biasanya sudah didahului oleh hubungan yang saling mengenal dan cinta-mencintai satu sama lain, yang disetujui oleh kedua orang tua. Sebagaimana Pasal 33 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan), menegaskan:
Suami isteri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.
Tujuannya adalah agar terwujud kebahagian, Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Hal tersebut digambarkan dalam berbagai hukum dan perundang-undangan perkawinan, Kompilasi Hukum Islam (KHI), menyebutkan:
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Perkawinan Menurut UU Perkawinan Oleh karena itu, perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak azasi manusia, makaperkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan), menyebutkan:
Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal 2 UU Perkawinan:
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) dikatakan, bahwa : Perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Dengan demikian, dalam rangka mewujudkan rumah tangga yang bahagia dan kekal, hukum melindungi perkawinan.
Dalam agama manapun, perkawinan merupakan sesuatu yang suci dan dihormati. Sehingga tidak ada seorangpun boleh ikut campur dalam rumah tangga apalagi merusak perkawinan seseorang, termasuk ibu mertua. Karena dalam perkawinan keduanya sudah terjalin dalam suatu ikatan yang di sah kan oleh hukum dan agama. Dimana istri sudah menjadi tanggung jawab suami, dan istri wajib mematuhi segala perintah suami sebagai kepala keluarga. Tindakan mertua istri Anda yang berusaha memisahkan kehidupan Anda dengan istri dan anak, adalah tindakan yang tidak bisa dibenarkan oleh hukum manapun. Apalagi tanpa alasan yang dibenarkan oleh hukum dan perundang-undangan. Hak Dan Kewajiban Suami Istri Dalam perkawinan perlu diketahui, bahwa suami istri memiliki hak dan kewajiban yang luhur, dan seimbang. Sebagaimana Pasal 30 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menyebutkan:
Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
Pasal 31:
(1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
(3) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
Pasal 32 :
(1) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
(2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1)
pasal ini ditentukan oleh suami isteri bersama
Pasal 33 :
Suami isteri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.
Pasal 34 :
(1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(2) Isteri wajib mengatur urusan rumahtangga sebaik-baiknya.
(3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.
Menjawab pertanyaan Anda:
Apakah ada hukumnya mama mertua istri menyuruh anaknya berpisah dari suaminya ?
Dalam perundang-undangan tentang Perkawinan manapun, tidak ada ketentuan yang mengatur hak dan/atau kewenangan orang tua atau mertua untuk memisahkan perkawinan anaknya. Apalagi hal tersebut dilakukan tanpa dasar alasan hukum yang jelas. Karena untuk melakukan pemisahan perkawinan, apalagi perceraian harus ada cukup alasan. Salah satunya adalah bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri. Jadi jika sepanjang perkawinan, kedua pasangan suami istri masih dapat hidup rukun dan bahagia, maka tidak ada alasan bagi bagi siapapun termasuk mama mertua istri untuk memisahkan perkawinan tanaknya tersebut. Pada UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, terdapat ketentuan yang mengatur mengenai Perkawinan Yang Dilarang, Batalnya Perkawinan, dan Putusnya Perkawinan.
Pasal 8, Perkawinan Dilarang antara dua orang yang:
Pasal 22 :
Perkawinan dapat dibatalkan,apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Pasal 23,
Yang dapat mengajukan Pembatalan Perkawinan yaitu:
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri;
b. Suami atau isteri;
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2)
Pasal 16
Undang-undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Pasal 24 :
Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal 25 :
Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri.
Pasal 26 :
(1) Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.
(2) Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akta perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.
Pasal 27 :
(1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.
(2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
(3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
Pasal 28 :
(1) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
(2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap:
a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
b. Suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu;
c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pasal 38
tentang Putusnya Perkawinan:
a. kematian,
b. perceraian dan
c. atas keputusan Pengadilan.
Pasal 39 :
(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
(3) Tatacara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
Pasal 40
(1) Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan.
(2) Tatacara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
Dari Sisi Hukum Perdata Pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) terdapat lembaga pemisahan perkawinan, yaitu : Perpisahan Meja dan Ranjang sebagaimana Pasal 233 KUHPerdata, berbunyi: Dalam hal adanya peristiwa-peristiwa yang dapat digunakan sebagi alasan untuk menuntut perceraian perkawinan, suami dan istri adalah berhak, menuntut perpisahan meja dan ranjang. Kemudian : Tuntutan untuk perpisahan yang demikian boleh juga dimajukan berdasar atas perbuatan-perbuatan yang melampaui batas, penganiayaan dan penghinaan kasar, dilakukan oleh pihak yang satu terhadap pihak yang lain. Pasal 236 KUHPerdata: Perpisahan meja dan ranjang boleh juga diperintahkan oleh Hakim atas permintaan kedua suami istri bersama-sama, dalam mana tidak ada kewajiban bagi mereka, mengemukakan alasan-alasan tertentu. Perpisahan yang demikian tidak boleh diizinkan, melainkan apabila suami dan istri telah kawin selama dua tahun. Pada umumnya, sebelum seseorang melakukan perkawinan biasanya sudah didahului oleh hubungan yang saling mengenal dan cinta-mencintai satu sama lain, yang disetujui oleh kedua orang tua. Sebagaimana Pasal 33 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan), menegaskan:
Suami isteri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.
Tujuannya adalah agar terwujud kebahagian, Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Hal tersebut digambarkan dalam berbagai hukum dan perundang-undangan perkawinan, Kompilasi Hukum Islam (KHI), menyebutkan:
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Perkawinan Menurut UU Perkawinan Oleh karena itu, perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak azasi manusia, makaperkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan), menyebutkan:
Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal 2 UU Perkawinan:
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) dikatakan, bahwa : Perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Dengan demikian, dalam rangka mewujudkan rumah tangga yang bahagia dan kekal, hukum melindungi perkawinan.
Dalam agama manapun, perkawinan merupakan sesuatu yang suci dan dihormati. Sehingga tidak ada seorangpun boleh ikut campur dalam rumah tangga apalagi merusak perkawinan seseorang, termasuk ibu mertua. Karena dalam perkawinan keduanya sudah terjalin dalam suatu ikatan yang di sah kan oleh hukum dan agama. Dimana istri sudah menjadi tanggung jawab suami, dan istri wajib mematuhi segala perintah suami sebagai kepala keluarga. Tindakan mertua istri Anda yang berusaha memisahkan kehidupan Anda dengan istri dan anak, adalah tindakan yang tidak bisa dibenarkan oleh hukum manapun. Apalagi tanpa alasan yang dibenarkan oleh hukum dan perundang-undangan. Hak Dan Kewajiban Suami Istri Dalam perkawinan perlu diketahui, bahwa suami istri memiliki hak dan kewajiban yang luhur, dan seimbang. Sebagaimana Pasal 30 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menyebutkan:
Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
Pasal 31:
(1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
(3) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
Pasal 32 :
(1) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
(2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1)
pasal ini ditentukan oleh suami isteri bersama
Pasal 33 :
Suami isteri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.
Pasal 34 :
(1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(2) Isteri wajib mengatur urusan rumahtangga sebaik-baiknya.
(3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.
Menjawab pertanyaan Anda:
Apakah ada hukumnya mama mertua istri menyuruh anaknya berpisah dari suaminya ?
Dalam perundang-undangan tentang Perkawinan manapun, tidak ada ketentuan yang mengatur hak dan/atau kewenangan orang tua atau mertua untuk memisahkan perkawinan anaknya. Apalagi hal tersebut dilakukan tanpa dasar alasan hukum yang jelas. Karena untuk melakukan pemisahan perkawinan, apalagi perceraian harus ada cukup alasan. Salah satunya adalah bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri. Jadi jika sepanjang perkawinan, kedua pasangan suami istri masih dapat hidup rukun dan bahagia, maka tidak ada alasan bagi bagi siapapun termasuk mama mertua istri untuk memisahkan perkawinan tanaknya tersebut. Pada UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, terdapat ketentuan yang mengatur mengenai Perkawinan Yang Dilarang, Batalnya Perkawinan, dan Putusnya Perkawinan.
Pasal 8, Perkawinan Dilarang antara dua orang yang:
Pasal 22 :
Perkawinan dapat dibatalkan,apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Pasal 23,
Yang dapat mengajukan Pembatalan Perkawinan yaitu:
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri;
b. Suami atau isteri;
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2)
Pasal 16
Undang-undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Pasal 24 :
Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal 25 :
Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri.
Pasal 26 :
(1) Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.
(2) Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akta perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.
Pasal 27 :
(1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.
(2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
(3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
Pasal 28 :
(1) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
(2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap:
a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
b. Suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu;
c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pasal 38
tentang Putusnya Perkawinan:
a. kematian,
b. perceraian dan
c. atas keputusan Pengadilan.
Pasal 39 :
(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
(3) Tatacara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
Pasal 40
(1) Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan.
(2) Tatacara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
Dari Sisi Hukum Perdata Pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) terdapat lembaga pemisahan perkawinan, yaitu : Perpisahan Meja dan Ranjang sebagaimana Pasal 233 KUHPerdata, berbunyi: Dalam hal adanya peristiwa-peristiwa yang dapat digunakan sebagi alasan untuk menuntut perceraian perkawinan, suami dan istri adalah berhak, menuntut perpisahan meja dan ranjang. Kemudian : Tuntutan untuk perpisahan yang demikian boleh juga dimajukan berdasar atas perbuatan-perbuatan yang melampaui batas, penganiayaan dan penghinaan kasar, dilakukan oleh pihak yang satu terhadap pihak yang lain. Pasal 236 KUHPerdata: Perpisahan meja dan ranjang boleh juga diperintahkan oleh Hakim atas permintaan kedua suami istri bersama-sama, dalam mana tidak ada kewajiban bagi mereka, mengemukakan alasan-alasan tertentu. Perpisahan yang demikian tidak boleh diizinkan, melainkan apabila suami dan istri telah kawin selama dua tahun.
Adakah ada hukumnya mama mertua istri ikut campur urusan rumah tangga anaknya ?
Jadi, jika tindakan mama mertua istri Anda menyuruh anaknya berpisah dari suaminya, tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang perkawinan. Maka perbuatan tersebut, dapat dikatakan sebagai perbuatan yang tidak dapat dibenarkan oleh hukum.
Apakah bisa saya mengajukan tuntutan untuk mama mertua biar ada efek jera?
Mengenai keinginan Anda mengajukan tuntutan dapat saja dilakukan, jika perbuatan tersebut dapat dikatagorikan sebagai perbuatan yang tidak menyenangkan. Ketentuan tersebut diatur pada Pasal 335 KUHP, bunyinya:
Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang agar melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan, dengan memakai kekerasan, suatu perbuatan lain, maupun perlakukan yang tidak menyenangkan, atau dengan ancaman kekerasan, suatu perbuatan lain, maupun perlakuan yang tidak menyenangkan, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain dapat diancam dengan pidana paling lama 1 tahun.
Tetapi kemudian ketentuan tersebut mengalami perubahan setelah adanya uji materil (judicial review) dari seseorang kepada Mahkamah Konstitusi (MK). MK kemudian mengabulkan sebagian permohonan uji materi Pasal 335 ayat (1) ke-1 Undang-Undang No 1 Tahun 1946 tentang KUHP terkait delik perbuatan tidak menyenangkan dan Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.
Mahkamah Konstitusi menilai frasa Suatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tidak menyenangkan dalam Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan. Setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XI/2013 Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP, selengkapnya berbunyi:
Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain.
Apakah saya bisa mendapatkan hak asuh anak saya ? Keinginan Anda untuk mendapatkan Hak Asuh Anak, adalah baik. Apalagi sebagai orang tua (ayah) memiliki kewajiban mengasuh, memelihara, mendidik, dan membiayai, yang secara otomatis sebagai Kuasa Asuh.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak), mengatur pengertian Kuasa Asuh: Kuasa Asuh adalah kekuasaan Orang Tua untuk mengasuh mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuhkembangkan Anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan sesuai dengan kemampuan, bakat, serta minatnya Karena pada permasalahan keluarga tersebut terdapat Anak yang kepentingannya wajib dilindungi. Apakah pemisahan Orang Tua yang dilakukan oleh mama mertua istri, merupakan kepentingan yang terbaik baik Anak. Untuk itu jangan sampai perselisihan keluarga menyebabkan kehidupan Anak menjadi salah dan terlantar. Pasal 76B UU Perlindungan Anak, melarang : Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan Anak dalam situasi perlakuan salah dan penelantaran. Sanksi Pidana, Pasal 77: Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76A dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupaih).
Permasalahan yang Anda hadapi tersebut dicarikan solusi yang baik, atau yaitu melalui mediasi yang sedapatnya dilakukan oleh anggota keluarga sendiri. Sehingga dapat diselesaikan secara kekeluargaan tanpa harus melalui proses hukum karena pada prinsipnya, hukum pidana adalah ultimum remidium atau upaya terakhir yang dapat ditempuh setelah semua upaya lain sudah coba ditempuh.
Demikian Kami sampaikan. Apabila Saudara masih memiliki pertanyaan lain yang
ingin disampaikan, Saudara dapat berkonsultasi secara langsung ke Pos Pelayanan Hukum Kami yang berada di Kantor Pengacara Negara pada Kejaksaan Negeri Banjarmasin secara gratis.
Anak saya usia 16 tahun terjerat pinj