Selamat pagi admin,
Saya rencananya akan menikahi gadis asli suku minangkabau, dimana kedua orang tuanya adalah suku minangkabau. Tunangan saya adalah anak terakhir dari 7 bersaudara, Kedua orang tuanya adalah pengusaha besar di kota kelahirannya. ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan berkaitan dengan hukum waris khususnya hukum waris pada suku Minangkabau
terima kasih atas jawabannya
Terimakasih atas pertanyaan yang masuk kepada kami, dan selamat atas pertunangannya !.
Bahwa terhadap poin-poin permasalahan yang diajukan, termasuk didalam ruang lingkup Hukum Adat Minangkabau dan Hukum Waris Islam. Untuk itu akan kami sampaikan dalam beberapa poin berikut.
Jawaban poin 1.
Bahwa didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tidak terdapat satu pasal pun yang mencantumkan pengertian rumusan Hukum Waris.
Apabila merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yang dimaksud dengan Harta Pusaka ialah harta yang diwariskan dari pewaris kepada ahli waris untuk dipelihara, sedangkan Harta Pencaharian ialah harta yang yang didapat dari pencaharian nafkah sehari-hari.
Jawaban poin 2.
Dalam pewarisan harta di Hukum Adat Minangkabau, terdapat dua jenis harta :
Yang dimaksud Harato Pusako Tinggi adalah harta yang telah diwariskan dalam suatu kaum (suku) secara turun temurun yang biasanya sudah melalui beberapa generasi yang bersifat komunal dan bukanlah bersifat warisan kepada perorangan. sedangkan Harta Pusaka Rendah ialah segala harta yang merupakan pencaharian orang tua sepanjang masih terikat dalam perkawinan.
Jawaban poin 3.
Bahwa masyarakat Masyarakat Minangkabau menganut sistem matrelinial, yakni sistem kekerabatan yang menarik dari garis keturunan ibu. Namun, disisi lain secara filosifis masyarakat Minangkabau juga berpegang kepada Syariat (Hukum Islam). Dalam hal ini dikenal dengan falsafah Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah. Syarak Mangato, Adat Mamakai (ABSSBK) sebagaimana tertuang dalam Pasal 5 huruf c RUU tentang Provinsi Sumatera Barat.
Hukum adat sendiri mendapat tempat didalam UUD 1945, sebagaimana tercantum didalam pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi : Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang
Sistem hukum adat Minangkabau secara Materinial, sudah sejalan dengan praktek peradilan. Hal ini dapat dilihat dari Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 1021 K/Sip/1975 tanggal 22 Juni 1977 yang berbunyi :
Menurut Hukum Adat Minangkabau seorang anak tidak sekaum dengan bapak ibunya tetapi sekaum dengan ibu-ibunya
Terhadap Hukum waris Harta Pusako Tinggi mangacu kepada Hukum Adat Minangkabau. Dapat dilihat kepada Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 1595 K/Sip/1974 tanggal 26 September 1977 yang berbunyi :
Menurut Hukum Adat Minangkabau pengurusan harta pusaka tinggi terletak pada mamak kepala waris dalam kaum sedangkan pusaka rendah pada anak-anak.
Sedangkan terhadap Harta Pusaka Rendah (Pusako Randah) bukan merupakan bagian dari harta kaum. Senada dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 1654 K/Sip/1976 tanggal 30 Agustus 1978 yang mempunyai kaidah hukum :
Status harta pencaharian seorang ayah di Minangkabau tidak dapat dikategorikan sebagai harta kaum.
Jawaban poin 4.
Bahwa terhadap pembagian Harta Pusaka Tinggi tidak mengacu kepada Waris Hukum Islam (Faraaidh), dikarenakan Harta Pusaka Tinggi (Pusako Tinggi) tidak boleh dijual, digadai maupun diwariskan secara perorangan tanpa persetujuan semua anggota kaum . Hak Pengelolaan dan Pengawasannya dilasanakan oleh Mamak Kepala Waris (MKW) dalam kaum. (sebagaimana yang telah dimuat dari Yurisprudensi diatas)
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), konsep waris secara islam berbeda dengan waris adat. Berdasarkan ketentuan Pasal 171 huruf e KHI memberikan defenisi :
Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
Dengan demikian dalam urusan waris adat, maka tidak dapat dipertentangkan dengan Faraaidh, karena merupakan dua hal yang berbeda.
Jawaban poin 5.
Bahwa Asas Personalitas Keislaman, sebagaimana didalam UU No. 7 Tahun 1989 pada Pasal 49 menyebutkan:
Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam di bidang : .. b. Waris, dst.
Dikaitkan dengan ketentuan Pasal 171 KHI, maka sepanjang tidak menyangkut Harta Pusaka Tinggi (Pusako Tinggi), dapat dilakukan secara Waris Islam. sedangkan jika terdapat sengketa adat dapat diajukan ke Pengadilan Negeri.
Demikian jawaban dari beberapa poin pertanyaan diajukan, semoga bermanfaat.
-admin JPN Budi-