Yth Sdri. Sherly Desvita, Pertama-tama, Kami mengucapkan terima kasih atas pertanyaan yang dipercayakan untuk Kami jawab melalui sarana Halo JPN. Terkait pertanyaan Saudara, dapat Kami jelaskan sebagai berikut: - Bahwa Hukum Waris Perdata sebagaimana Pasal 830 KUH Perdata mengatur pewarisan hanya terjadi karena kematian. Yang artinya pewarisan baru ada apabila pewaris telah meninggal dunia. Hukum Waris dalam ilmu hukum merujuk pada ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Pengaturan mengenai hukum waris tersebut dapat dijumpai dalam pasal 830 sampai dengan pasal 1130 KUH Perdata.
- Bahwa berhubung dengan agama si pemohon yang beragama Islam maka timbullah asas personalitas ke-Islaman yang maknanya, bahwa yang tunduk dan dapat ditundukan kepada kekuasaan lingkungan peradilan agama adalah mereka yang beragama Islam. Jadi berlaku juga waris yang tertera di hukum Islam. Hukum Kewarisan Islam menurut kompilasi hukum Islam (Kajian implementasi pasal 178 ayat 2, pasal 181, 182 dan pasal 185)
- Bahwa dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 171 yang menjelaskan tentang waris, memiliki pengertian Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
- Kompilasi Hukum Islam mengenai bentuk wasiat, dikenal 2 bentuk wasiat yakni wasiat lisan dan tertulis (dapat berupa akta dibawah tangan atau akta notaris), sebagaimana diatur dalam Pasal 195 KHI. Sementara dalam KUHPerdata, dikenal 3 bentuk wasiat yakni wasiat olografis, wasiat terbuka dan wasiat rahasia dimana ketiga bentuk wasiat tersebut memerlukan campur tangan notaris dalam pembuatannya. Pemberian wasiat dalam Kompilasi Hukum Islam dibatasi yakni maksimal sebesar 1/3 dari harta warisan Pewaris. Sedangkan KUHPerdata tidak memberikan pembatasan secara langsung mengenai besaran wasiat, namun KUHPerdata mengenal Legitieme Portie yakni suatu bagian dari harta peninggalan Pewaris yang harus diterima oleh ahli waris dalam garis lurus baik lurus ke atas atau lurus ke bawah dari Pewaris dan terhadap bagian ini si Pewaris tidak diperbolehkan menetapkannya sebagai hibah ataupun wasiat.
- Pasal 195 ayat (2) KHI juga menyatakan bahwa wasiat maksimal sepertiga dari harta warisan. Sehingga dalam menentukan bahwa wasiat tidak melebihi sepertiga harta warisan, pertama-tama harus diketahui terlebih dahulu berapa jumlah harta warisan yang ditinggalkan Pewaris.
- Berhubung kakek pemohon masih hidup maka salah satu yang bisa dilakukan yaitu dengan cara pembuatan Surat Wasiat. Pembuatan surat wasiat tersebut juga harus memenuhi ketentuan Pasal 195 ayat (1) dimana pembuatan surat wasiat tersebut turut pula diketahui oleh 2 orang saksi sehingga wasiat berupa wasiat akta dibawah tangan yang dibuat Pewaris dianggap sah dan dapat dilaksanakan.
- Bahwa alternatif pilihan lain selain melakukan wasiat maka bisa juga dengan cara memberikan hibah kepada bapak dari pemohon, sebagai berikut;
- Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), definisi hibah merupakan pemberian yang dilaksanakan secara sukarela dengan mengalihkan hak atas sesuatu kepada pihak lain, contohnya hak kepemilikan suatu barang. Inisiatif penghibahan berasal dari pemberi hibah, bukan dari penerima hibah. Karena pemberian hibah dilakukan secara cuma-cuma, terkadang hibah juga dianggap sebagai hadiah kepada orang lain.
- Ketentuan hibah terdapat dalam Pasal 1666 KUH Perdata. Berdasarkan ketentuan tersebut, disebutkan bahwa hibah sebagai pemberian oleh seseorang kepada pihak lain secara cuma-cuma dan tidak dapat ditarik kembali. Definisi hibah menurut Pasal 171 huruf g Kompilasi Hukum Islam (KHI), adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. Selanjutnya yang dihibahkan dapat berupa barang-barang bergerak dan barang-barang tidak bergerak, contohnya properti dan tanah. Benda atau harta tersebut dihibahkan kepada pihak lain ketika pemberi hibah masih hidup. Selain orang, harta yang dihibahkan juga bisa diberikan kepada lembaga, misalnya lembaga pendidikan.
- Perjanjian Hibah termasuk dalam perjanjian sepihak, yaitu perjanjian yang membebankan prestasi berupa hak dan kewajiban hanya pada satu pihak saja, yaitu penerima hibah. Perjanjian hibah bisa dilakukan secara lisan maupun secara tertulis, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1687 KUH Perdata, kecuali untuk tanah dan bangunan harus dibuat secara tertulis menggunakan akta hibah yang dibuat oleh PPAT, sesuai dengan ketentuan Pasal 37 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Di waktu hidupnya Pemberian hibah dan pelaksanaan pembagiannya dilakukan pada saat pemberi hibah masih hidup. Dengan cuma-cuma dan tidak dapat ditarik kembali Pemberian hibah tidak dapat ditarik kembali kecuali atas syarat-syarat yang diatur pada pasal 1672 KUHPerdata dan 1688 KUH Perdata. Menyerahkan suatu barang Barang yang dijadikan objek hibah bisa dalam bentuk barang bergerak (kendaraan bermotor, perhiasan, uang), bisa juga dalam bentuk barang tidak bergerak (tanah dan bangunan).
Semoga jawaban Kami dapat bermanfaat. Terima kasih. |