Selamat Siang Bp/Ibu Jaksa yth,
Saya adalah anak terakhir dari 7 bersaudara, Ayah dan Ibu saya masih hidup, dimana anak pertama Laki-laki dan anak kedua perempuan. saat ini anak pertama dan kedua sedang berseteru perihal warisan. anak pertam menghendaki pembagian warisan berdasarkan syariat Islam namun anak kedua menghendaki pembagian warisan berdasarkan hukum adat suku Semendo, suku asli muara Enim dimana Anak perempuan pertama menjadi pewaris tunggal atau di sebut tunggu tubang. Suasana kekeluargaan menjadi tidak harmonis, kedua orang tua menyerakan sepenuhnya kepada anak-anaknya, saya sebagai anak terakhir makin bingung. yang ingin saya tanyakan adalah:
terima kasih bp/ibu Jaksa atas jawabannya, semoa Allah SWT membalas kebaikan bp/ibu Jaksa yth, AamiinÂ….
Terima kasih atas kepercayaan Saudara kepada haloJPN.
Adapun jawaban Kami atas pertanyaan Saudara adalah sebagai berikut :
1. Diketahui bahwa kewarisan dalam terminologi hukum dapat diartikan sebagai hukum yang mengatur harta waris yang ditinggalkan pewaris (dalam hal ini orang yang sudah meninggal dunia) untuk dibagikan kepada ahli warisnya, mengetahui bagian-bagian yang diterima dari peninggalan untuk setiap ahli waris yang berhak menerimanya. Sebagaimana yang disampaikan oleh Wiryono Projodikoro dalam bukunya Hukum Kewarisan di Indonesia menyebutkan bahwa kewarisan adalah soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.
Di Indonesia, mengenai hukum kewarisan diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, untuk yang beragama Islam, hukum waris mengacu pada hukum kewarisan Islam yang telah dikodifikasikan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), sedangkan untuk yang beragama selain Islam diatur dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
Dalam Pasal 830 KUHPerdata menyatakan bahwa "pewarisan hanya berlangsung karena kematian," sehingga pewarisan dapat terjadi atau harta waris dapat diwarisi oleh ahli waris ketika pewaris sudah meninggal dunia. Hal tersebut sejalan dengan pengertian dari "pewaris" dalam KHI yakni "orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan."
Berkaitan dengan tersebut, di Indonesia juga diakui keberadaan dari hukum adat sebagai kearifan lokal yang salah satunya juga mengatur mengenai pewarisan. Dalam hukum kewarisan adat mengatur mengenai proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang yang berwujud harta benda atau yang tidak berwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada keturunannya. Di Sumatera Selatan khususnya di Semende dikenal adanya Adat Tunggu Tubang. Tunggu Tubang sendiri merupakan lembaga kekerabatan adat yang memuat aturan mengenai pengelolaan harta warisan leluhur dan keluarga besar (Apit Jurai) oleh anak perempuan tertua yang ditetapkan Ahli Jurai (Tetua Adat Semende) melalui proses perkawinan.
Kemudian pada praktiknya, dalam hal pewarisan, mayoritas masyarakat muslim Semende menerapkan ketentuan waris sebagaimana dalam kewarisan adat Tunggu Tubang yang telah berlangsung dari generasi nenek moyang hingga sekarang. Dalam hukum adat, kewarisan harta itu bukanlah peralihan kepemilikan harta dan pembagian harta dari orang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup, melainkan peralihan fungsi dan tanggung jawab pengelolaan, pengurusan harta dari generasi yang sudah meninggal kepada generasi yang masih hidup.
Untuk permasalahan hukum waris mana yang akan digunakan oleh masyarakat muslim di Semende, dapat diputuskan melalui musyawarah antara para ahli waris. Meskipun secara formalitas aturan Islam, untuk seseorang yang beragama Islam seharusnya menggunakan hukum waris sesuai syariat Islam, namun di dalam Islam pun dimungkinkan untuk dilaksanakan pembagian sesuai dengan kesepakatan perdamaian dalam pembagian harta warisan dalam hal ini dapat digunakan hukum adat Tunggu Tubang tersebut. Di dalam hukum Islam dikenal adanya Al-Takharuj (perdamaian dalam musyawarah) sehingga sepanjang terjadi kerelaan dan kesepakatan, perjanjian pembagian harta warisan dengan hukum adat tersebut pun dimungkinkan.
2. Dalam hukum waris adat Tunggu Tubang di Semende, harta waris pokok biasanya berupa rumah dan sawah. Anak perempuan tertua dari garis keturunan ibu yang berhak mewarisi, mengelola dan mengurus harta waris Tunggu Tubang. Hal tersebut dikarenakan daerah Semende dari segi geneologis, sistem keturunan menarik keturunan dari pihak ibu (matrilineal) sehingga kedudukan perempuan lebih dominan pengaruhnya daripada laki-laki. Namun dalam adat Tunggu Tubang, harta Tunggu Tubang berupa sawah dan rumah tidak dapat dibagi-bagi, dijual ataupun dipindahkan kepada pihak lain yang bukan semestinya oleh anak Tunggu Tubang tersebut tanpa melalui keputusan musyawarah keluarga besar (Apit Jurai), karena pengurusan harta tersebut dilakukan secara turun temurun sesuai ketentuan adat Tunggu Tubang. Seseorang untuk dapat menjadi pengelola tunggu tubang haruslah memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam adat Semende, yakni:
Perlu diketahui bahwa pengertian harta waris dalam hukum adat merupakan harta peninggalan pewaris baik bersifat dapat dibagi atau tidak dapat dibagi yang terdiri dari : 1. Harta peninggalan (asal) 2. Harta pemberian 3. Harta pencaharian 4. Hak dan kewajiban yang diwariskan.
Harta peninggalan di adat Semende yang menjadi harta tak terbagi atau tetap terbagi-bagi hanya harta Tunggu Tubang saja, sedangkan harta di luar harta Tunggu Tubang dapat dibagi. Harta yang dapat dibagi tersebut biasanya merupakan harta pencaharian atau harta bawaan. Sistem kewarisan Tunggu Tubang di Semende merupakan sistem mayorat perempuan dimana anak perempuan tertua hanya berhak menguasai untuk memelihara dan menikmati hasil dari harta peninggalan dengan diawasi oleh saudara laki-laki. Anak perempuan tertua yang menjadi penerus harta Tunggu Tubang memiliki hak diantaranya :
Berbeda dengan hukum nasional dan hukum Islam, hukum adat membolehkan proses kewarisan dilangsungkan atau dilaksanakan dimulai ketika pewaris masih hidup dengan cara penghibahan atau wasiat. Proses kewarisan dalam hal ini merupakan suatu proses atau perbuatan dari pewaris meneruskan/mengalihkan/mengoperkan harta peninggalan/warisan kepada ahli warisnya. Hendaknya dalam pelaksanaan proses pembagian harta waris dapat dilakukan berdasarkan atas sukarela, musyawarah dan mufakat oleh para ahli waris.
3. Hukum waris adat dan hukum waris Islam memiliki kedudukan yang sama antara satu dan lainnya dalam penerapannya di masyarakat. Pada prinsipnya, kedua hukum kewarisan ini memiliki persamaan yakni sama-sama mengatur mengenai peralihan hak atas harta benda pewaris kepada ahli waris untuk memenuhi rasa keadilan. Meskipun pada praktiknya terjadi perbedaan yakni hukum Islam menentukan syarat proses kewarisan ketika adanya kematian sedangkan hukum adat berdasarkan sistem keturunan sehingga proses kewarisan pun dapat dilakukan ketika pewaris masih hidup. Kemudian dalam hukum waris Islam sudah jelas siapa dan berapa bagiannya, sedangkan dalam hukum waris adat sesuai dengan sistem keturunan atau yang diinginkan keluarga. Berdasarkan hal tersebut, dapat diambil simpulan bahwa hukum waris adat dapat diterapkan masyarakat muslim dengan syarat kesepakatan para ahli waris, namun apabila terjadi perselisihan maka harus berdasarkan hukum kewarisan Islam.
4. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, bahwa dalam sistem hukum Indonesia dan hukum Islam, proses kewarisan dapat terbuka apabila pewaris telah meninggal dunia, sehingga apabila kedua orang tua dalam hal ini merupakan pewaris masih hidup, maka harta tersebut masih merupakan hak dari kedua orang tua. Kemudian, apabila akan dilaksanakan pembagian harta karena kedua orang tua masih hidup, maka dilakukan dengan cara hibah atau wasiat. Di kemudian hari apabila pewaris sudah meninggal dunia, dan timbul sengketa terkait harta warisan, maka untuk masyarakat beragama Islam dapat menempuh jalur hukum melalui Pengadilan Agama di wilayah hukum masing-masing.
Dalam hal ini apabila perselisihan terjadi ketika kedua orang tua masih hidup, karena berhubungan dengan adat tunggu tubang, dapat dimintakan pendapat dari tokoh adat dalam hal ini yakni ahli jurai.
Sumber referensi :
Demikian Kami sampaikan, apabila Saudara masih memiliki pertanyaan lain yang ingin disampaikan, Saudara dapat berkonsultasi secara langsung ke Pos Pelayanan Hukum Kami yang berada di Kantor Pengacara Negara pada Kejaksaan Negeri Muara Enim secara gratis.