Yang bersangkutan adalah sebagai Ketua RW setempat yang menanyakan perihal salah satu warganya bernama M. Tasrif hendak mewakafkan 1 (satu) bidang tanah seluas ± 235 M2 untuk dimanfaatkan sebagai tanah makam (berlokasi bersebelahan dengan Makam Umum Desa), dimana penjual (Sutino dan Istri) sudah meninggal dunia dan informasinya tidak mempunyai anak. Pada SHM untuk luas tanahnya ± 300 M2 lebih serta transaksi jual belinya hanya berupa 1 (satu) lembar tulisan tangan di kertas bermeterai antara M. Tasrif dengan Sutino, pertanyaannya adalah apakah dengan keadaan M. Tasrif ini dapat mewakafkan sebagian tanahnya untuk dijadikan tanah makam?
Perlu kami sampaikan terlebih dahulu bahwa berdasarkan pasal 19 ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) menyatakan bahwa SHM (sertifikat tanah) atau penerbitan surat-surat tanda bukti atas pendaftaran tanah merupakan alat pembuktian yang kuat, sehingga meskipun ada transaksi jual beli antara M. Tasrif dengan Sutino dengan SHM bukan atas nama Sutino serta tidak adanya akta jual beli (AJB) yang dibuat oleh Notaris, menyebabkan sempurnanya bukti kepemilikan M. Tasrif atas tanah tersebut sehingga lemah untuk melakukan tindakan hukum termasuk salah satunya mewakafkan tanahnya untuk makam.
Alangkah bijak manakala proses jual beli dan balik nama harus dilakukan terlebih dahulu melalui Notaris sehingga SHM sudah atas nama M. Tasrif baru bisa melakukan wakaf atas tanahnya tersebut.
Dengan demikian, menjawab pertanyaan Anda, semoga bermanfaat