Jika menikah dengan orang yang masih berperkara di pengadilan agama artinya masih status istri orang. Bolehkah saya menceraikan dan menuntut pidana keluarga nya dengan sengaja melakukan penipuan status pernikahannya
Berdasarkan informasi yang Anda berikan, kami berkesimpulan bahwa:
Pada dasarnya, menurut Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan, untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami dan istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.
Kemudian, alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian dijelaskan lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan sebagai berikut:
Selain alasan-alasan tersebut, bagi pasangan suami istri yang beragama Islam juga berlaku ketentuan dalam Pasal 116 KHI yang menambahkan dua alasan perceraian yang tidak disebut dalam UU Perkawinan yaitu:
Menjawab pertanyaan Anda, jika melihat dari alasan-alasan perceraian yang disebutkan dalam UU Perkawinan dan KHI, maka keinginan Anda bercerai karena tindakan istri Anda yang menyembunyikan status perkawinan sebelumnya demi dapat menikah dengan Anda bukan merupakan alasan yang kuat bagi Anda untuk dapat menceraikannya.
Lebih lanjut, sebelum menjawab pertanyaan Anda mengenai bisakah menuntut pidana istri Anda dan keluarganya atas dasar tindak pidana penipuan, terlebih dahulu kami perlu menguraikan unsur-unsur dalam tindak pidana penipuan.
Pada dasarnya, tindak pidana penipuan diatur dalam KUHP lama yang pada saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku terhitung 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[1] yaitu tahun 2026. Berikut ulasannya.
KUHP | UU 1/2023 |
Pasal 378 Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun. | Pasal 492 Setiap orang yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau kedudukan palsu, menggunakan tipu muslihat atau rangkaian kata bohong, menggerakkan orang supaya menyerahkan suatu Barang, memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapus piutang, dipidana karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, yaitu Rp500 juta. |
Lebih lanjut, disarikan dari Jika Orang yang Direkomendasikan Terlibat Pasal Penipuan, terkait pasal penipuan, R. Soesilo dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal.261) menjelaskan sejumlah unsur-unsur tindak pidana penipuan yang perlu diperhatikan, antara lain:
Kemudian, dalam Penjelasan Pasal 492 UU 1/2023 dijelaskan bahwa penipuan adalah tindak pidana terhadap harta benda, sedangkan tempat tindak pidana adalah tempat pelaku melakukan penipuan, walaupun penyerahan dilakukan di tempat lain. Dengan kata lain, saat dilakukannya tindak pidana adalah saat pelaku melakukan penipuan.
Selanjutnya, perbuatan materiil dari penipuan adalah membujuk seseorang dengan berbagai cara yang disebut dalam ketentuan ini, untuk memberikan sesuatu barang, membuat utang atau menghapus piutang. Dengan demikian, perbuatan yang langsung merugikan itu tidak dilakukan oleh pelaku tindak pidana, tetapi oleh pihak yang dirugikan sendiri. Perbuatan penipuan baru selesai dengan terjadinya perbuatan dari pihak yang dirugikan sebagaimana dikehendaki pelaku.
Dari unsur-unsur pasal di atas dapat diketahui bahwa sulit untuk bisa menerapkan Pasal 378 KUHP maupun Pasal 492 UU 1/2023 dalam kasus Anda. Hal ini karena unsur membujuk supaya memberikan barang, membuat utang atau menghapuskan piutang tidak terpenuhi. Selain itu, pernikahan Anda saat kondisi Anda tidak mengetahui status istri Anda yang masih terikat dengan pernikahan sebelumnya (pada saat tunangan dan menikah siri) tentu Anda lakukan bukan karena adanya bujukan dari istri maupun keluarganya supaya Anda memberikan barang, membuat utang atau menghapuskan piutang.
Dengan demikian, Anda tidak dapat menuntut istri dan keluarganya atas dasar tindak pidana penipuan. Lantas, apa pasal yang dapat menjerat seseorang yang menyembunyikan status pernikahannya? Berikut ulasannya.
Jika dilihat dari Pasal 279 KUHP maupun Pasal 402 UU 1/2023, sekilas terlihat perbuatan istri Anda yang menyembunyikan status pernikahan sebelumnya demi menikah dengan Anda, sebagai berikut:
KUHP | UU 1/2023 |
Pasal 279
| Pasal 402
|
Dari uraian pasal di atas, unsur tindak pidana menyembunyikan perkawinan dalam Pasal 279 KUHP adalah:
Menurut R. Soesilo (hal. 203), suatu syarat supaya orang dapat dihukum menurut pasal ini ialah orang itu harus mengetahui bahwa ia dulu pernah kawin dan perkawinan ini masih belum dilepaskan.
Kemudian, berdasarkan Pasal 38 UU Perkawinan, perkawinan dapat putus karena:
a. kematian,
b. perceraian, dan
c. atas keputusan Pengadilan.
Dari sini jelas diketahui bahwa belum adanya putusan perceraian istri Anda dengan suaminya yang terdahulu oleh hakim. Kemudian, Anda juga mengatakan bahwa istri Anda menyembunyikan status perkawinannya saat menikah secara siri dengan Anda. Dari hal tersebut ada poin lain yang juga penting diperhatikan.
KUHP tidak menjelaskan apakah perkawinan ke-dua (perkawinan berikutnya) itu harus dilaksanakan sah secara hukum positif atau hanya secara hukum agama saja. Jika yang dimaksud dengan pasal ini adalah perkawinan berikutnya itu bisa dilakukan baik secara siri maupun perkawinan yang sah berdasarkan hukum positif, maka istri Anda dapat dijerat dengan pasal ini.
Akan tetapi, jika yang dimaksud dengan KUHP adalah perkawinan berikutnya tersebut harus dilakukan secara sah menurut hukum positif, istri Anda tidak bisa dijerat dengan pasal ini mengingat pernikahan sebelumnya telah sah lepas berdasarkan putusan pengadilan sebelum menikah secara hukum negara dengan Anda.
Lebih lanjut, berdasarkan penjelasan Memorie Van Toelichting (“MVT”), perkawinan yang kedua dapat dianggap telah terjadi walaupun dilakukan secara siri atau tanpa dilakukan pencatatan perkawinan, apabila sudah ada perkawinan yang sebelumnya yang dilakukan secara sah.
Kemudian sebagai informasi, menurut S.R. Sianturi dalam bukunya yang berjudul Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya (hal. 215), yang dimaksud dengan perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahas Esa (Pasal 1 UU Perkawinan).
Jika melihat pada pendapat S.R. Sianturi, dapat dilihat bahwa yang dimaksud dengan perkawinan adalah perkawinan yang berdasarkan hukum negara, bukan perkawinan berdasarkan hukum agama. Mengenai hal ini, menurut hemat kami pada akhirnya akan diserahkan kepada pertimbangan Majelis Hakim sendiri.