Apakah anak hasil zina berhak mendapat warisan dari orang tuanya? Bagaimana aturan hak waris anak hasil zina atau luar nikah di Indonesia?
Halo Yogi
Terimakasih atas kepercayaan Saudara kepada layanan halo JPN. Adapun jawaban Kami atas pertanyaan Saudara adalah sebagai berikut:
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, sebaiknya kita pahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan anak hasil zina atau anak zina. Menurut Irma Devita Purnamasari dalam Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Memahami Masalah Hukum Waris (hal. 115), anak zina adalah anak yang lahir dari hasil hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, saat salah satu atau keduanya masih terikat dalam perkawinan lain.
Kemudian, menurut Amir Syarifuddin dalam Hukum Kewarisan Islam (hal. 148), anak zina adalah anak yang lahir dari suatu perbuatan zina, yaitu hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan yang tidak terikat dalam nikah yang sah meskipun ia lahir dalam suatu perkawinan yang sah, dengan laki-laki yang melakukan zina atau laki-laki lain.
Kemudian, dalam Kitab Ahkamul-Mawaris fi al-Fiqhi al-Islami, disebutkan bahwa anak zina adalah anak yang lahir bukan dari hubungan nikah yang sah secara syar’i atau dengan kata lain buah dari hubungan haram antara laki- laki dan perempuan.[1] Dalam arti yang lebih sederhana, pada intinya anak zina merupakan anak yang dilahirkan tanpa pernikahan yang resmi.[2]
Kemudian, dalam hukum positif di Indonesia, Pasal 283 KUH Perdata mengatur bahwa anak yang dilahirkan karena perzinaan atau penodaan darah (incest, sumbang), tidak boleh diakui tanpa mengurangi ketentuan Pasal 273 KUH Perdata mengenai anak penodaan darah.
Akan tetapi, dalam KHI tidak ada istilah “anak zina”, melainkan “anak yang lahir di luar perkawinan” yaitu anak yang lahir di luar perkawinan yang sah atau akibat hubungan yang tidak sah.[3]
Sebagai informasi, pengertian anak zina berbeda dengan anak luar kawin. Disarikan dari Pengertian Anak Sah dan Anak Luar Kawin, anak luar kawin bisa dikategorikan sebagai anak sah sepanjang diakui oleh orang tuanya. Pasal 272 KUH Perdata menguraikan bahwa:
Anak di luar kawin, kecuali yang dilahirkan dari perzinaan atau penodaan darah, disahkan oleh perkawinan yang menyusul dari bapak dan ibu mereka, bila sebelum melakukan perkawinan mereka telah melakukan pengakuan secara sah terhadap anak itu, atau bila pengakuan itu terjadi dalam akta perkawinannya sendiri.
Dari pasal di atas, dapat disimpulkan bahwa anak luar kawin menurut pengaturan KUH Perdata adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan kedua orang tua. Dalam hal ini, kedua orang tuanya tidak ada yang terikat dengan pernikahan dengan orang lain. Sedangkan anak zina adalah anak yang lahir dari hasil hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, saat salah satu atau keduanya masih terikat dalam perkawinan lain yang sah.
Dalam konteks hak waris, KUH Perdata memberikan 3 penggolongan terhadap anak-anak, yaitu:[4]
Ketentuan-ketentuan tersebut di atas tidak berlaku bagi anak-anak yang lahir dan perzinaan atau penodaan darah. Undang-undang hanya memberikan nafkah seperlunya kepada mereka.
Adapun dalam Pasal 869 KUH Perdata diatur bila bapaknya atau ibunya sewaktu hidup telah memberikan jaminan nafkah seperlunya untuk anak yang lahir dan perzinaan atau penodaan darah, maka anak itu tidak mempunya hak lebih lanjut dalam menuntut warisan dari bapak atau ibunya.
Lantas, bagaimana aturan hak waris anak luar kawin di Indonesia? Pada dasarnya, jika merujuk pada ketentuan dalam UU Perkawinan dan perubahannya, tidak dibedakan mengenai anak zina dan anak luar kawin. Yang diatur dalam Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan hanyalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Namun, Putusan MK 46/PUU-VIII/2010 (hal. 37) tentang pengujian Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan mengatur mengenai pengakuan hubungan keperdataan antara anak luar kawin dan ayahnya, sebagai berikut:
Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.
Melihat pada putusan tersebut, berarti anak yang dilahirkan di luar perkawinan (dalam putusan tidak dibedakan antara anak zina dengan anak luar kawin, seperti pada KUH Perdata) dapat memiliki hubungan perdata dengan ayahnya jika dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Jika dapat dibuktikan bahwa memang orang tersebut adalah ayahnya, anak tersebut dapat mewaris dari si ayah biologis. Akan tetapi perlu diingat ketentuan dalam Pasal 285 KUH Perdata, bahwa apabila terjadi pengakuan dari ayah biologisnya, sehingga timbul hubungan hukum antara si ayah dengan anak luar kawinnya tersebut, pengakuan anak luar kawin tersebut tidak boleh merugikan pihak istri dan anak-anak kandung dalam hal pewarisan.
Demikian jawaban dari kami terkait hukum waris anak hasil zina sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.
apabila saudara belum merasa puas silahkan berkunjung ke kantor Pengacara Negara pada
Cabang Kejaksaan Negeri Agam di Maninjau
Alamat : Jl. Telaga Biru, Muaro pisang, Maninjau, Kec. Tanjung raya, Kab. Agam.
Kontak : 082283150894