Supported by PT. Telkom Indonesia
Jumat, 22 Nov 2024
Quality | Integrity | No Fees
2024-08-22 15:53:45
Pernikahan dan Perceraian
SAYA MEMILIKI PERTANYAAN, PEREMPUAN YANG MENIKAH BERKALI-KALI TANPA BERCERAI DENGAN SUAMI-SUAMI TERDAHULU DAN SUDAH TIDAK TINGGAL BERSAMA LAGI, APAKAH ITU TERMASUK PERKAWINAN POLIANDRI? APAKAH DI INDONESIA BOLEH POLIANDRI?

Saya memiliki pertanyaan, perempuan yang menikah berkali-kali tanpa bercerai dengan suami-suami terdahulu dan sudah tidak tinggal bersama lagi, apakah itu termasuk perkawinan poliandri? Apakah di Indonesia boleh poliandri?

Dijawab tanggal 2024-08-22 15:55:32+07

Pada dasarnya, hukum perkawinan di Indonesia menganut asas monogami. Hal ini tampak dari ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan dan Penjelasannya, bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.

Hal ini ditegaskan dalam salah satu syarat perkawinan yakni Pasal 9 UU Perkawinan, bahwa seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali dalam hal sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 UU Perkawinan, yaitu:

            Pasal 3 ayat (2)

Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan

            Pasal 4

  1. Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang,sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
  2. Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:

a. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;

b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Lalu, berkaitan dengan pertanyaan Anda, apa itu poliandri? Poliandri adalah bentuk perkawinan di mana seorang wanita memiliki dua atau lebih suami pada waktu yang sama.[1] Disarikan dari artikel Hukum Poliandri di Indonesia, perkawinan poliandri adalah bentuk perkawinan, di mana seorang istri menikah dengan beberapa suami. Dalam perspektif filosofis, hukum perkawinan poliandri merupakan bentuk yang dilarang dan bertentangan dengan kodrat wanita. Sehingga kesimpulannya, perkawinan poliandri dilarang di Indonesia.

Kemudian, seperti yang telah kami jelaskan, seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 UU Perkawinan, yaitu terhadap perkawinan oleh salah satu pihak yang masih terikat perkawinan dapat dilakukan pencegahan perkawinan (jika perkawinan tersebut belum dilaksanakan). Ketentuan mengenai pencegahan perkawinan dapat Anda temukan dalam Pasal 13 s.d. Pasal 21 UU Perkawinan.

Namun, apabila perkawinan telah dilaksanakan, maka perkawinan bisa dibatalkan. Pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 22 s.d. Pasal 29 UU Perkawinan.

Adapun kami memiliki keterbatasan informasi mengenai bagaimana perempuan yang Anda maksud bisa menikah berkali-kali tanpa bercerai dengan suami-suami terdahulu. Karena, jika perkawinan tersebut telah sah dan dicatatkan, perempuan tersebut seharusnya tidak bisa menikah lagi karena masih terikat perkawinan dengan orang lain. Kecuali, perkawinan dilakukan secara siri dan tidak dicatatkan, memang ada potensi untuk bisa terjadi poliandri. Berkaitan dengan nikah siri, Anda dapat membaca Apakah Nikah Siri Itu Zina? dan Potensi Jerat Pidana Walaupun Syarat Nikah Siri Sudah Terpenuhi.

Waktu Tunggu dalam UU Perkawinan dan KHI

Lebih lanjut, wanita yang belum bercerai dengan suaminya walaupun sudah tidak tinggal bersama, masih tetap terikat dalam tali perkawinan. Apabila wanita tersebut ingin menikah lagi, maka ia harus bercerai terlebih dahulu dengan suaminya dan telah melewati waktu tunggu.[2] Waktu tunggu diatur dalam Pasal 39 PP 9/1975:

1. Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-undang ditentukan sebagai berikut:

a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari;

b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 hari;

c. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan. 

2. Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin.

3. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.

Bagi orang yang beragama Islam, berlaku pula ketentuan KHI. Berdasarkan Pasal 40 huruf a dan b KHI, dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:

a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;

b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain.

Perkawinan seperti ini, apabila telah dilaksanakan dapat dibatalkan berdasarkan Pasal 71 huruf b dan c KHI. Apabila wanita tersebut ingin menikah lagi, maka ia harus diceraikan oleh suaminya atau istri menggugat cerai[3] dengan alasan yang disebutkan dalam Pasal 116 KHI, antara lain:

  1. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
  2. salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
  3. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
  4. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
  5. salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri;
  6. antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
  7. suami melanggar taklik talak;
  8. peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.

Setelah resmi bercerai, kemudian wanita tersebut harus menunggu selesai masa iddah (masa tunggu) sebagaimana diatur dalam Pasal 153 KHI:

1. Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qabla al dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami.

2. Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut:

 

a. Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qabla al dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 hari;

b. Apabila perkawinan putus karena perceraian,waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3  kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 hari;

c. Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan;

 

d. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.

3. Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qabla al dukhul.

4. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya, Putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.

5. Waktu tunggu bagi istri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu haid.

6. Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia haid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali waktu suci.

Intinya, secara teori, perkawinan wanita dengan lebih dari seorang pria dalam ikatan perkawinan adalah termasuk poliandri (bersuami lebih dari satu). Lalu,  secara hukum Islam maupun hukum perkawinan di Indonesia, praktik Poliandri ini dilarang.

Pasal Perzinaan dalam Hukum Pidana

Kemudian menurut hemat kami, perbuatan wanita yang menikah secara poliandri termasuk perzinaan, dan pelaku tindak pidana perzinaan dapat dijerat Pasal 284 KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku, dengan ancaman pidana penjara maksimal 9 bulan. Sedangkan dalam UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[4] yaitu tahun 2026, perzinaan diatur dalam Pasal 411 dengan ancaman pidana penjara maksimal 1 tahun atau denda maksimal Rp10 juta.[5]

Unsur-unsur dan penjelasan selengkapnya mengenai pasal perzinaan dapat Anda baca pada Bunyi Pasal 284 KUHP tentang Perzinaan.

Jadi, wanita yang kawin lagi padahal belum bercerai dengan suaminya berarti melakukan perkawinan poliandri. Poliandri ini dilarang baik menurut hukum Islam maupun hukum negara karena praktik poliandri termasuk perzinaan. Sehingga, pelaku poliandri dapat dipidana.

 

 

Jika anda kurang puas dengan jawaban ini, silakan berkonsultasi lebih lanjut dengan Jaksa Pengacara Negara pada
KN. KEPULAUAN MENTAWAI
Alamat :
Kontak :

Cari

Terbaru

Pernikahan dan Perceraian
NAFKAH ANAK

Halo Bapak/Ibu. Perkenalkan nama saya

Pertanahan
Jual Beli Tanah dan Bangunan

Halo Bapak/Ibu, perkenalkan saya Iwan

Pernikahan dan Perceraian
perceraian

Min ijin bertanya, mengenai nafkah ba

Pernikahan dan Perceraian
Tentang Anak yang bingung nanti ikut kesiapa

  1. Pada usia berapa anak sudah bisa

Hubungi kami

Email us to [email protected]

Alamat

Jl. Sultan Hasanuddin No.1 Kebayoran Baru Jakarta Selatan - Indonesia
© 2024 Kejaksaan Republik Indonesia.