Apa yang harus dilakukan terhadap tanah wakaf yang diberikan kepada yayasan, di mana setelah beberapa tahun diwakafkan, yayasan tersebut membubarkan diri (yayasan tidak aktif lagi)?
Sebelumnya perlu kami jelaskan mengenai implikasi dari pembubaran yayasan terhadap kekayaan yayasan, sebab yayasan sendiri merupakan badan hukum.
Dalam hal yayasan membubarkan diri sendiri, maka pembina yayasan menunjuk likuidator untuk membereskan kekayaan yang dimiliki oleh yayasan. Kemudian menurut Pasal 68 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan menyebutkan:
Sehingga pada dasarnya kekayaan sisa hasil likuidasi diserahkan kepada yayasan lain atau badan hukum lain yang mempunyai kesamaan kegiatan dengan yayasan yang bubar. Namun jika hasil likuidasi tidak diserahkan kepada yayasan lain atau badan hukum lain, maka sisa kekayaan tersebut diserahkan kepada negara dan penggunaannya dilakukan sesuai dengan kegiatan yayasan yang bubar tersebut.
Namun demikian, terdapat perlakuan khusus bagi kekayaan yayasan yang berasal dari wakaf. Tanah wakaf yang sudah diberikan kepada yayasan memang menjadi kekayaan yayasan. Akan tetapi, kekayaan yayasan yang berasal dari wakaf ini harus diperlakukan secara khusus sesuai dengan ketentuan hukum perwakafan.
Penggantian Nazhir
Adapun yayasan yang menerima dan mengelola harta wakaf disebut dengan nazhir, yaitu pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai peruntukannya. Berdasarkan Pasal 45 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf mengatur bahwa nazhir dapat diganti jika nazhir yang bersangkutan:
Penggantian nazhir tersebut dilakukan oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI). Oleh karena itu, bagi yayasan yang bubar dan berstatus sebagai nazhir badan hukum dapat dilakukan penggantian.
Perlu diperhatikan, sebagaimana disarikan dari 3 Alternatif Cara Ganti Nazhir Wakaf Perseorangan ke Badan Hukum, penggantian nazhir yang merupakan kewenangan BWI yang terbagi antara BWI pusat, provinsi maupun kabupaten/kota. Jika harta benda wakaf berupa tanah, untuk klasifikasi luasan tanah wakaf di atas 20.000 meter2 menjadi kewenangan BWI pusat. Tapi jika luasan tanah wakafnya antara 1.000 sampai dengan 20.000 meter2, maka menjadi kewenangan BWI provinsi. Sedangkan jika luasan tanah wakafnya kurang dari 1.000 meter2, maka menjadi kewenangan BWI kabupaten/kota.
Dengan demikian, terhadap tanah yang sudah diwakafkan kepada yayasan, kemudian yayasan tersebut bubar, statusnya tetap sebagai tanah wakaf. Adapun pengelolaan tanah tersebut akan digantikan oleh nazhir yang baru, yang ditunjuk oleh BWI.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.