Bagaimana hukumnya bagi orang yang menikah secara muslim ( di KUA ) tetapi kemudian salah satu diantaranya pindah Agama. Apakah pernikahan itu masih dianggap sah? Memang pernikahan itu serba terpaksa ( hamil dulu ) antara dua remaja dengan perjanjian bahwa jejaka bersedia nikah secara muslim tetapi selesai nikah akan kembali ke agamanya.
Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 ("UU Perkawinan") menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-msing agamanya dan kepercayaannya. Bila perkawinan sudah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan (secara muslim di KUA) maka perkawinan tersebut telah sah menurut UU Perkawinan.
Dalam perjalanan perkawinan ternyata salah satu (suami atau istri) pindah agama, maka menurut kami pihak yang keberatan dapat mengajukan gugatan perceraian dalam hal ini ke pengadilan agama (karena perkawinan itu dilaksanakan dengan hukum Islam).
Lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan yang ditegaskan kembali dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahin 1975 tentang Pelaksanaana UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“PP 9/1975”) dikatakan bahwa alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah:
Jika melihat dari alasan-alasan perceraian di atas, tidak ada cukup alasan bagi Anda untuk menggugat cerai pasangan Anda, kecuali jika berpindahnya agama tersebut memang menimbulkan perselisihan dan pertengkaran sedemikian rupaterus menerus antara Anda dan pasangan sehingga tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga.
Hal ini senada dengan pengaturan lebih khusus bagi yang beragama Islam seperti Andayang terdapat dalam Pasal 116 huruf h Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”). Pasal ini mengatakan bahwa dalam hal salah satu pihak murtad (beralih agama dari Islam) sehingga menimbulkan ketidakrukunan dalam rumah tangga, maka hal itu dapat dijadikan alasan perceraian.
Hal ini senada dengan pengaturan lebih khusus bagi yang beragama Islam seperti Anda yang terdapat dalam Pasal 116 huruf h Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”). Pasal ini mengatakan bahwa dalam hal salah satu pihak murtad (beralih agama dari Islam) sehingga menimbulkan ketidakrukunan dalam rumah tangga, maka hal itu dapat dijadikan alasan perceraian. Bagi pemeluk agama Islam, perceraian dianggap telah terjadi terhitung sejak jatuhnya putusan pengadilan agama yang telah berkekuatan hukum tetap. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 34 ayat (2) PP 9/1975.
Selain itu, dalam Islam putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian sebagaimana yang disebut dalam Pasal 114 KHI. Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan (Pasal 123 KHI). Jadi, menjawab pertanyaan Anda, selama perceraian di depan sidang pengadilan itu belum terjadi, maka Anda masih sah sebagai istri dari suami Anda meskipun suami berpindah agama.