Supported by PT. Telkom Indonesia
Kamis, 21 Nov 2024
Quality | Integrity | No Fees
2024-11-11 09:39:34
Pernikahan dan Perceraian
CERAI SAAT HAMIL, BOLEHKAH DALAM HUKUM ISLAM?

Perkenalkan saya Natalina Efriati, izin bertanya kepada bapak/ibu jaksa.

Suami saya berselingkuh dan berzina dengan perempuan lain. Saya tidak bisa memaafkan dan tetap ingin pisah. Apakah saya boleh minta cerai saat hamil? Apa yang bisa saya tuntut dari suami?

Mohon jawaban atas pertanyaan saya. Terima kasih

Dijawab tanggal 2024-11-12 12:23:57+07

Halo Natalina,
Terimakasih atas kepercayaan Saudara kepada layanan halo JPN. Adapun jawaban Kami atas pertanyaan Saudara adalah sebagai berikut:

Sebelumnya, kami turut prihatin atas permasalahan yang Anda hadapi. Perceraian hendaknya menjadi jalan terakhir setelah semua upaya penyelesaian perselisihan antara Anda dan suami telah dilakukan.

Perceraian dalam UU Perkawinan

Pada dasarnya, untuk dapat melakukan perceraian, suami istri tersebut harus mempunyai alasan bahwa mereka tidak dapat hidup rukun lagi, sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan:

Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.

Mengenai hal-hal apa saja yang dapat dijadikan alasan untuk bercerai, dapat dilihat lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan dan Pasal 19 PP 9/1975 yang menguraikan alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian, yaitu:

  1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
  2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya;
  3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
  4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain;
  5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;
  6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga.

Selain diatur dalam UU Perkawinan dan PP 9/1975, jika Anda beragama Islam, Anda dapat merujuk pada ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam/(“KHI”). Mengenai alasan perceraian, KHI menganut hal yang sama dengan dua peraturan di atas. Akan tetapi, terdapat tambahan dalam KHI, yaitu perceraian dapat terjadi dengan alasan suami melanggar taklik-talak atau peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga sebagaimana diatur dalam Pasal 116 huruf g dan k KHI.

Dengan melihat alasan-alasan perceraian di atas, dapat diketahui bahwa tidak ada alasan kuat bagi suami Anda untuk menceraikan Anda. Kecuali jika memang ada alasan lain yang sedemikian rupa dapat memicu pertengkaran sehingga tidak ada harapan bahwa Anda dan suami dapat hidup rukun lagi.

Namun demikian, jika melihat posisi Anda yang justru dirugikan atas sikap suami Anda yang berzina, justru Anda yang memiliki alasan untuk menggugat cerai. Akan tetapi, sekali lagi, kami tidak menyarankan Anda untuk menggugat cerai suami. Sebaiknya Anda membicarakan baik-baik dan menyelesaikan permasalahan ini secara damai dengan suami Anda, terlebih Anda sedang hamil. Selain itu dalam sidang perceraian, hakim yang memeriksa gugatan perceraian biasanya berusaha mendamaikan kedua pihak yang dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan selama perkara belum diputuskan.

Bolehkah Istri Minta Cerai saat Hamil?

Berfokus pada keadaan Anda yang sedang hamil, lalu apakah boleh cerai saat hamil? Sepanjang penelusuran kami, hukum Islam tidak mengatur larangan cerai saat hamil, begitu pula dalam UU Perkawinan, PP 9/1975, KHI, maupun hadis.

Terkait prosedur gugatan perceraian, dalam UU Perkawinan diatur ketentuan sebagai berikut:

  1. Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan.
  2. Tatacara mengajukan gugatan tersebut diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.

Lebih lanjut, peraturan mengenai gugatan perceraian diatur dalam Pasal 20 PP 9/1975 sebagai berikut:

  1. Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau istri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
  2. Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat.
  3. Dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan di tempat kediaman penggugat. Ketua Pengadilan menyampaikan permohonan tersebut kepada tergugat melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat.

Gugatan dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami-istri itu. Maka, berdasarkan UU Perkawinan dan PP 9/1975, gugatan perceraian dapat diajukan oleh suami atau juga istri atau dapat diwakili kuasanya. Artinya, istri berhak untuk mengajukan gugatan cerai terhadap suami.

Kemudian, dalam hukum Islam, perceraian dibedakan menjadi dua, yaitu karena talak (dijatuhkan oleh suami) dan karena gugatan perceraian (diajukan istri).

Terkait gugatan perceraian, KHI mengatur ketentuan bahwa gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami. Gugatan perceraian itu dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama.

Sebagai informasi, terdapat aturan mengenai masa tunggu (masa iddah) bagi janda yang diceraikan oleh suaminya ketika sedang hamil, yaitu sampai ia melahirkan. Ini menunjukkan bahwa aturan hukum membolehkan suami menggugat cerai istrinya meskipun istrinya sedang hamil.

Adapun hukum cerai saat hamil dalam Islam sendiri diperbolehkan. Alasan tersebut didasarkan pada hadis dalam Shahih Muslim. “Silahkan talak istrimu, dalam kondisi suci atau ketika sedang hamil.” (HR. Ahmad dan Muslim). Hadis tersebut berarti yang tidak diperbolehkan adalah menceraikan istri yang sedang haid, dan harus menunggu istri suci terlebih dahulu.

Melaporkan Tindak Pidana Perzinaan

Kemudian, berdasarkan informasi yang Anda berikan, suami Anda berselingkuh dan berzina dengan perempuan lain. Zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya. Selanjutnya, jika Anda hendak menuntut suami yang telah berzina, Anda dapat melaporkan tindak pidana perzinaan kepada polisi.

Demikian Kami sampaikan, apabila Saudara masih memiliki pertanyaan yang ingin disampaikan, Saudara dapat berkonsultasi secara langsung ke Pos Pelayanan Hukum Kami yang berada di Kantor Pengacara Negara pada Kejaksaan Negeri Barito Kuala secara gratis.

Jika anda kurang puas dengan jawaban ini, silakan berkonsultasi lebih lanjut dengan Jaksa Pengacara Negara pada
KN. BARITO KUALA
Alamat :
Kontak :

Cari

Terbaru

Pernikahan dan Perceraian
NAFKAH ANAK

Halo Bapak/Ibu. Perkenalkan nama saya

Pertanahan
Jual Beli Tanah dan Bangunan

Halo Bapak/Ibu, perkenalkan saya Iwan

Pernikahan dan Perceraian
perceraian

Min ijin bertanya, mengenai nafkah ba

Pernikahan dan Perceraian
Tentang Anak yang bingung nanti ikut kesiapa

  1. Pada usia berapa anak sudah bisa

Hubungi kami

Email us to [email protected]

Alamat

Jl. Sultan Hasanuddin No.1 Kebayoran Baru Jakarta Selatan - Indonesia
© 2024 Kejaksaan Republik Indonesia.