Apakah benar nikah siri adalah zina? Apakah seorang laki laki yang telah menikah sah baik secara hukum agama maupun hukum negara dengan seorang perempuan lalu kemudian menikah lagi secara siri dengan perempuan lain dapat dikenakan Pasal 284 KUHP? Apabila iya, adakah pendapat ahli yang menguatkan statement tersebut atau literatur yang berkata demikian?
Sebagai informasi, Pasal 27 KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek/ “BW”) yang disebut dalam Pasal 284 KUHP berbunyi sebagai berikut:
Pada waktu yang sama, seorang lelaki hanya boleh terikat perkawinan dengan satu orang perempuan saja; dan seorang perempuan hanya dengan satu orang lelaki saja.
Adapun berdasarkan Penjelasan Pasal 411 ayat (1) UU 1/2023, yang dimaksud dengan “bukan suami atau istrinya” sebagaimana disebutkan di atas adalah:
Selengkapnya mengenai pasal perzinaan dapat Anda baca dalam artikel Bunyi Pasal 284 KUHP tentang Perzinaan.
Definisi Zina dalam Pandangan Hukum
Para ahli hukum memiliki penafsiran tentang zina. Menurut R. Sugandhi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Penjelasannya (hal. 302), zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan atas dasar suka sama suka yang belum terikat oleh perkawinan.
Kemudian, R. Soesilo dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 209) mendefinisikan zinah atau zina sebagai persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya.
Selanjutnya, Soesilo juga berpendapat bahwa supaya seseorang dapat dijerat dengan pasal perzinahan, maka persetubuhan itu harus dilakukan dengan suka sama suka, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak.
Nikah Siri
Sebagaimana yang telah dijelaskan di artikel Potensi Jerat Pidana Walaupun Syarat Nikah Siri Sudah Terpenuhi, dalam hukum positif di Indonesia, istilah nikah siri (perkawinan siri) tidaklah dikenal. Selain itu, tidak ada aturan yang mengatur perkawinan siri secara khusus. Istilah sirri sendiri berasal dari bahasa arab, yakni “sirra, israr” yang berarti rahasia.
Nikah siri di dalam masyarakat sering diartikan dengan:
Sementara itu, menurut KBBI, nikah siri adalah pernikahan yang hanya disaksikan oleh seorang modin dan saksi, tidak melalui Kantor Urusan Agama, menurut agama Islam sudah sah.
Di sisi lain, secara hukum, tiap perkawinan di Indonesia seharusnya dicatatkan, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan yang mengatur bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku.
Kemudian, pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
Dengan demikian, dapat kami simpulkan bahwa pencatatan nikah merupakan bukti perkawinan yang sah di mata hukum, sebagaimana tertuang dalam akta nikah. Karena nikah siri tidak dicatat oleh pegawai pencatat nikah dan tidak ada akta nikahnya, maka tidak terdapat dokumen yang diakui oleh hukum bahwa seseorang telah menikah dan sah secara agama.
Apakah Nikah Siri Sama dengan Zina?
Selanjutnya, menjawab pertanyaan apakah nikah siri itu zina, perlu kami tekankan bahwa dalam pernikahan siri tidak terdapat dokumen yang diakui oleh hukum sebagai bukti nikah.
Sehubungan dengan itu, sebagai konsekuensinya, pasangan yang menikah siri ini berisiko disamakan dengan zina, dan berpotensi dijerat Pasal 284 ayat (1) KUHP atau Pasal 411 ayat (1) UU 1/2023. Hal ini mungkin terjadi apabila suami/istri yang menikah siri ini ternyata masih terikat perkawinan yang sah dengan orang lain.
Contoh Kasus
Kemudian, menyambung apakah seseorang dapat dipidana karena nikah siri? Untuk menjawab ini, kita dapat merujuk pada Putusan PN Solok No. 56/Pid.B/2014/PN.Slk. Dalam kasus ini, sepasang suami-istri yang telah menikah siri (hal. 14) dinyatakan bersalah karena memenuhi unsur dari Pasal 284 ayat (1) ke-1 huruf a dan ke-2 huruf b KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP atas zina/gendak (overspel) (hal 16-17).
Majelis hakim menyatakan bahwa kedua terpidana tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “perzinahan dan turut serta melakukan perzinahan beberapa kali” (hal. 17), di mana terdakwa I masih terikat perkawinan yang sah dengan istrinya (hal. 14). Dalam amarnya, majelis hakim menjatuhkan pidana penjara masing-masing selama 4 bulan (hal. 17).
Jika menganalisis putusan tersebut, ratio legis dari Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan adalah pencatatan perkawinan dibutuhkan di kemudian hari sebagai validitas perkawinan.
Oleh karena itu, untuk mencegah persoalan hukum di kemudian hari, lebih baik pernikahan tersebut dicatatkan untuk memperoleh akta kawin sebagai bukti telah dilakukannya pernikahan. Dalam hal nikah siri sudah terlanjur terjadi, ada baiknya segera melakukan permohonan isbat nikah ke Pengadilan Agama.