Assalamualaikum Bapak/Ibu.
Perkenalkan nama saya Hesti Evi Tasari biasa dipanggil Hesti. Saya merupakan seorang ibu rumah tangga dan tidak bekerja. Pada tahun 2021 saya menikah sah secara agama Islam dan negara dengan seorang laki-laki dan telah dikaruniai seorang anak laki-laki yang saat ini berusia 2 tahun. Saya berencana cerai dari suami saya karena saya mendapat kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) serta sudah tidak dinafkahi secara ekonomi selama 3 bulan. Yang ingin saya tanyakan adalah apa yang saya harus lakukan mengenai ketentuan tentang hak asuh anak apabila saya benar-benar bercerai? Apakah hak asuh anak saya bisa jatuh ke tangan saya meskipun saat ini saya tidak berpenghasilan?
Waalaikumsalam Wr. Wb Bapak/Ibu.
Halo Hesti Evi Tasari. Terima kasih atas pertanyaannya.
4. Bahwa pada Pasal 149 KHI ditegaskan bahwa bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami memiliki kewajiban-kewajiban sebagai berikut:
5. Bahwa dalam UU Perkawinan diatur bahwa hak asuh anak akibat perceraian diberikan kepada bapak dan ibu. Namun, apabila terdapat perselisihan mengenai penguasaan anak-anak yang orang tuanya bercerai, pengadilan dapat memberi putusan terkait dengan penguasaan anak-anak tersebut jatuh pada siapa. Selanjutnya, jika mengacu kepada ketentuan Pasal 105 KHI, hak asuh anak atau pemeliharaan anak yang belum mumayyiz (sudah bisa membedakan sesuatu yang baik dan yang buruk) atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. Sedangkan, pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak tersebut untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak asuh atau hak pemeliharaannya. Dalam kasus Saudara HESTI EVI TASARI, yang beragama Islam, Saudara HESTI EVI TASARI dapat merujuk ketentuan Pasal 105 KHI sebagaimana disebutkan di atas, bahwa kedua anak Anda belum berusia 12 tahun dan diasumsikan belum mumayyiz, sehingga seharusnya hak asuh anak berada pada ibunya. Namun, Pada pasal 156 huruf c Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga mengatur lebih lanjut, bahwa apabila pemegang hadhanah (hak pemeliharaan atau hak asuh) ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan, Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula.
6. Bahwa terkait dengan biaya pemeliharaan anak, pasal 41 huruf b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur bahwa biaya pemeliharaan dan pendidikan anak menjadi tanggung jawab bapak. Akan tetapi, bila bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
7. Bahwa pasal 156 huruf d KHI mengatur bahwa semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri atau berusia 21 tahun. Dengan demikian, dalam hal ini, mantan suami memiliki kewajiban untuk memberikan biaya pemeliharaan anak yang berada di dalam pemeliharaan ibu. Namun, perlu diingat bahwa biaya tersebut juga harus memperhatikan kemampuan dari mantan suami.