Menginjak bulan ke-11 saya belajar di luar negeri, saya mendengar berita bahwa pacar suami saya telah tiga bulan hamil. Suami ingin mengajukan cerai agar dapat menikahi pacarnya tersebut. Surat kawin kami dan akta kelahiran dan KTP saya disimpan oleh orang tua saya, dan sampai sekarang suami saya belum datang secara baik-baik untuk mengambil surat-surat tersebut. Apakah perceraian itu dapat dilaksanakan tanpa kehadiran/persetujuan saya? Bagaimana status hukum anak mereka? Apa sanksinya jika mereka tetap menikah secara diam-diam?
Pada prinsipnya, dalam proses sidang perceraian yang berlaku di Indonesia, kedua belah pihak (suami dan istri) harus hadir dalam persidangan agar dapat dilakukan usaha perdamaian di antara mereka.
Namun, suami atau istri diperbolehkan untuk tidak hadir dalam sidang perceraian dengan memberikan kuasa kepada pihak lain untuk mewakili yang bersangkutan dalam sidang perceraian.
Namun jika Anda beragama Islam, maka ketentuan proses persidangan cerainya mengacu pada UU 7/1989. Adapun Pasal 82 ayat (1) dan (2) UU 7/1989 mengatur:
Masih berkaitan dengan kehadiran suami istri dalam persidangan, dalam hal suami istri mewakilkan kepada kuasanya, untuk kepentingan pemeriksaan, hakim dapat memerintahkan yang bersangkutan untuk hadir sendiri.[3]
Jadi, dapat kita ketahui bahwa memang pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, terutama pada sidang perdamaian, baik suami ataupun istri harus datang secara pribadi. Meskipun keduanya dapat mewakilkan kepada kuasanya, namun untuk kepentingan pemeriksaan, hakim dapat memerintahkan keduanya untuk hadir sendiri.
Apakah perceraian itu dapat dilaksanakan tanpa kehadiran/persetujuan Anda? Jika yang dimaksudkan adalah Anda (sebagai tergugat) sama sekali tidak datang dan juga tidak mewakili sama sekali kepada kuasanya, maka berdasarkan Pasal 125 HIR hakim dapat menjatuhkan putusan verstek.
Berikut ini bunyi Pasal 125 HIR sebagai berikut:
Jika tergugat tidak datang pada hari perkara itu akan diperiksa, atau tidak pula menyuruh orang lain menghadap mewakilinya, meskipun ia dipanggil dengan patut, maka gugatan itu diterima dengan tak hadir (verstek), kecuali kalau nyata kepada pengadilan negeri, bahwa pendakwaan itu melawan hak atau tidak beralasan.
Alasan-alasan Perceraian
Untuk mengajukan perceraian, harus mempunyai cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri, sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan dan penjelasannya serta Pasal 19 PP 9/1975 sebagai berikut:
Bagaimana Status Hukum Anak dari Pacar Suami?
Setidaknya ada dua kemungkinan yang dapat terjadi yaitu kekasih suami Anda yang merupakan orang ketiga dalam hubungan pernikahan melahirkan sebelum menikah atau melahirkan setelah menikah.
Pertama, jika orang ketiga tersebut melahirkan anaknya sebelum melangsungkan perkawinan, maka secara hukum, anak-anak yang lahir di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.
Kedua adalah melangsungkan perkawinan saat sedang hamil. Menurut hukum, seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Perkawinan dengan wanita hamil tersebut dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir. Anak yang terlahir dari perkawinan tersebut statusnya adalah anak sah dari keduanya.
Akibat Hukum Pernikahan Diam-Diam
Kami berasumsi yang Anda maksudkan dengan menikah diam-diam adalah suami Anda belum bercerai dengan Anda, tetapi menikah diam-diam dengan kekasihnya yang mana merupakan orang ketiga. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan, pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang istri. Akan tetapi, Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.[8]
Apabila suami tersebut akan menikah lagi dengan orang ketiga tersebut, adapun yang menjadi persyaratan adalah:
Dengan adanya syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh suami apabila akan menikah lagi, maka hal tersebut haruslah dilakukan atas persetujuan dari istri. Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi dan ternyata suami Anda melakukan perkawinan secara diam-diam dan tanpa persetujuan dari Anda sebagai istri pertama, maka perkawinan yang mereka lakukan tidak mempunyai kekuatan hukum. Oleh karena itu, Anda sebagai istri pertama dapat meminta untuk dilakukannya pembatalan perkawinan.