Orangtua saya memiliki sejumlah kartu kredit yang ia gunakan untuk kebutuhannya, dan terdapat tagihan yang belum dibayarkan, dan saat ini orangtua saya selaku pemegang kartu kredit telah meninggal dunia, apakah tagihan kartu kredit orangtua saya tersebut harus dibayarkan oleh anak/cucunya?
Bahwa untuk menjawab permasalahan hukum tersebut kami selaku Jaksa Pengacara Negara mengacu pada aturan perundang-undangan yang berlaku, yakni :
Bahwa berdasrkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 23/6/PBI/2021 Tahun 2021 tentang Penyedia Jasa Pembayaran pengertian kartu kredit dijelaskan sebagai berikut :
Pasal 182
Kartu kredit merupakan alat pembayaran menggunakan kartu yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembayaran dan/atau untuk melakukan penarikan tunai, dimana kewajiban pembayaran pengguna alat pembayaran menggunakan kartu dipenuhi terlebih dahulu oleh PJP yang menyelenggarkaan aktivitas payment initiation dan/atau acquiring services atau PJP yang menyelenggarkan aktivitas penatausahaan Sumber Dana, dan pengguna alat pembayaran menggunakan kartu berkewajiban untuk melakukan pembayaran pada waktu yang disepakati baik dengan pelunasan secara sekaligus ataupun dengan pembayaran secara angsuran.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa tagihan kartu kredit merupakan suatu utang yang didalamnya terdapat kewajiban pemegang kartu kredit untuk melakukan pelunasan pembayaran kepada pihak Bank atau PJP, namun jika dikaitkan dengan pertanyaan saudara yang menanyakan apakah tagihan kartu kredit tersebut harus dilunasi oleh ahli warisnya maka Jaksa Pengacara Negara mengacu pada ketentuan hukum dalam
Pasal 833 ayat (1) KUH Perdata yang menyebutkan :
sekalian ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas semua barang, semua hak dan semua piutang si yang meninggal
Bahwa selanjutnya aturan mengenai hukum waris dalam KUH Perdata menjelaskan pihak yang berhak menjadi ahli waris ialah keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang diluar perkawinan, dan suami isteri yang hidup terlama, sehingga berdasarkan prinsip tersebut maka yang berhak mewarisi hanyalah orang-orang yang mempunyai hubungan darag dengan pewaris, baik itu berupa keturunan langsung maupun orang tua, saudaqra, nenek/kakek atau keturunannya dari saudara-saudaranya.
Bahwa berkaitan dengan hal tersebut J. Satrio dalam bukunya yang berjudul Hukum Waris menuliskan bahwa warisan adalah kekayaan yang berupa kompleks aktiva dan pasiva si pewaris yang berpindah kepada ahli waris, namun dalam hal menerima warisan tersebut si pewaris juga dapat menyatakan sikap atas warisan yang hendak diterimanya, sebagaimana ketentuan dalam KUH perdata berikut ini :
Pasal 1045 KUH Perdata
Tiada seorang pun diwajibkan untuk menerima warisan yang jatuh ke tangannya
Pasal 1023 KUH Perdata
Barangsiapa memperoleh hak atas suatu warisan dan sekiranya ingin menyelidiki keadaan harta peninggalan itu, agar dapat mempertimbangkan yang terbaik bagi kepentingan mereka, apakah menerima secara murni, ataukan menerima dengan hak istimewa untuk merinci harrta peninggalan itu, ataukah menolaknya, mempunyai hak untuk berpikir, dan harus memberikan pernyataan mengenai hal itu pada kepaniteraan Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya warisan itu terbuka, pernyataan itu harus didaftarkan dalam daftar yang disediakan untuk itu.
Dengan demikian apabila seorang ahli waris menerima wairsan dari pewaris secara murni maka hal tersebut juga berakibat pada warisan berupa utang yang dimiliki pewaris walau harta warisan pewaris tidak mencukupi atas utang yang juga diwariskannya tersebut sebagaimana ketentuan berikut :
Pasal 1100 KUH Perdata
Para ahli waris yang telah bersedia menerima warisan, harus ikut memikul pembayaran utang, hibah wasiat dan beban-beban lain, seimbang dengan apa yang diterima masing-masinig dari warisan itu
namun apabila si ahli waris menerima dengan catatan atau menolak warisan tersebut maka ahli waris hanya menerima atau bertanggung jawab sebatas warisan yang diteirmanya, dan jika menolak maka pernyataan tersebut harus dinyatakan secara tegas di Kepaniteraan Pengadilan Negeri sesuai dengan ketentuan berikut :
Pasal 1057 KUH Perdata
Penolakan suatu warisan harus dilakukan dengan tegas, dan harus terjadi dengan cara memberikan pernyataan di Kepaniteraan Pengagdilan Negeri yang dalam daerah hukumnya warisan itu terbuka
Pasal 1058 KUH Perdata
Ahli waris yang menolak warisan, dianggap tidak pernah menjadi ahli waris
Dengan demikian menjawab pertanyaan saudara terkait dengan pembayaran tagihan kartu kredit tersebut, maka jika saudara selaku anak maupun cucunya bersedia menerima warisan yang diberikan oleh alm. orangtua saudara tersebut, maka saudara sebagai ahli waris berkewajiban untuk melakukan pembayaran tagihan kartu kredit si pewaris.