Jika ada sengketa terkait pertanahan, pengadilan manakah yang berwenang mengadili? Pengadilan Negeri atau Tata Usaha Negara?
Halo Abdul Hadi,
Terimakasih atas kepercayaan Saudara kepada layanan halo JPN. Adapun jawaban Kami atas pertanyaan Saudara adalah sebagai berikut:
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu diketahui bahwa Permen ATR/Kepala BPN 21/2020 membedakan kasus pertanahan menjadi:
Mengacu pada ketentuan di atas, kami asumsikan yang Anda maksud dalam pertanyaan adalah perkara pertanahan, bukan sengketa pertanahan mengingat penyelesaian perkara pertanahan dilakukan melalui lembaga peradilan.
Jika terjadi perkara pertanahan, pengadilan manakah yang berwenang mengadili? Untuk menjawabnya perlu diketahui terlebih dahulu apa yang dipermasalahkan dalam perkara pertanahan tersebut, misalnya apakah keabsahan dari penerbitan sertifikat hak atas tanahnya, atau sengketa kepemilikan hak atas tanahnya? Mengingat masing-masing hal tersebut diselesaikan melalui lembaga peradilan yang berbeda yaitu peradilan Tata Usaha Negara dan peradilan umum.
Dalam pertanyaan, Anda tidak menjelaskan mengenai bentuk kepemilikan tanah yang diperkarakan. Untuk itu, kami asumsikan bukti kepemilikan hak atas tanah yang diperkarakan adalah sertifikat, mengingat sertifikat adalah surat tanda bukti hak atas tanah.
Sertifikat sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah dipertegas dalam Pasal 32 ayat (1) PP 24/1997 yang berbunyi:
Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.
Sebagai informasi, dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut.
Dalam lingkup kekuasaan kehakiman, peradilan tata usaha negara (peradilan TUN) merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UU 9/2004 jo. Pasal 25 ayat (5) UU Kekuasaan Kehakiman.
Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan TUN dilaksanakan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang merupakan pengadilan tingkat pertama, dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) yang merupakan pengadilan tingkat banding, dan berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi.
Kemudian, Indroharto dalam bukunya Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku I: Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara (Edisi Revisi) menjelaskan yang dapat digugat ke peradilan TUN hanyalah keputusan TUN, yakni suatu penetapan tertulis (beschikking) yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang/badan hukum perdata (hal.161).
Adapun yang dimaksud dengan badan atau pejabat TUN adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan keputusan TUN adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Jika dikaitkan dengan persoalan pertanahan, pada dasarnya sertifikat tanah atau dokumen bukti hak atas tanah yang dalam hal ini diterbitkan oleh badan atau pejabat TUN dapat dikategorikan sebagai keputusan TUN.
Hal ini mengingat bahwa PP 24/1997 mengatur Badan Pertanahan Nasional (BPN) berwenang melakukan pendaftaran tanah, yang diantaranya meliputi pemberian sertifikat hak atas tanah kepada pemegang hak yang bersangkutan, serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Hal tersebut merupakan perwujudan salah satu fungsi BPN, yaitu perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penetapan hak dan pendaftaran tanah.
Lebih lanjut, jika terdapat sertifikat tanah yang memiliki cacat hukum administrasi dalam penerbitannya, sehingga merugikan pihak tertentu, berdasarkan praktik kami, pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan ke PTUN. Gugatan pada umumnya dapat berisi tuntutan agar sertifikat hak atas tanah dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (1) UU 9/2004.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan apabila seseorang merasa kepentingannya dirugikan akibat dikeluarkannya keputusan TUN yang berkaitan dengan kewenangan, prosedur, dan substansi misalnya penerbitan sertifikat hak atas tanah oleh BPN, maka ia dapat mengajukan gugatan ke PTUN.
Pada dasarnya, peradilan umum berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri (PN) yang merupakan pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi yang merupakan pengadilan tingkat banding, dan berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi.
Lalu, jika dikaitkan dengan perkara pertanahan, apabila yang dipermasalahkan adalah sengketa kepemilikan hak atas tanahnya dan bukan keabsahan penerbitan sertifikat hak atas tanahnya, maka hal ini menjadi kewenangan dari PN untuk memeriksa, mengadili dan memutus sengketa kepemilikannya. Berdasarkan eksepsi Putusan PTUN No. 221/G/2011/PTUN-JKT, hal ini sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 22/K/TUN/1998 jo. 16 K/TUN/2000 jo. 93/K/TUN/1996 yang menyatakan (hal.30):
Sengketa kepemilikan tanah: kaidah hukumnya adalah bahwa keputusan TUN yang berkaitan dengan kepemilikan tanah tidak termasuk wewenang peradilan TUN, melainkan wewenang peradilan umum dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan.
Maka, seseorang yang merasa kepentingannya dilanggar dalam hal kepemilikan hak atas tanah, dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri.
Demikian Kami sampaikan, apabila Saudara masih memiliki pertanyaan yang ingin disampaikan, Saudara dapat berkonsultasi secara langsung ke Pos Pelayanan Hukum Kami yang berada di Kantor Pengacara Negara pada Kejaksaan Negeri Barito Kuala secara gratis