Saya sudah menikah 10 Tahun secara negara, namun baru-baru ini saya menemukan bukti bahwa istri saya berselingkuh dengan mantan pacarnya. Dan saat ini Istri saya sudah tinggal dengan mantan pacarnya. Apa upaya yang harus saya lakukan? dan apakah saya selaku suami dan ayah dari anak saya pada saat melakukan gugatan ke pengadilan dapat mengajukan surat permohonan hak asuh anak?
berpedoman pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal 38 UU Perkawinan menerangkan bahwa perkawinan dapat putus karena:
kematian;
perceraian; dan
atas keputusan pengadilan.
Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan berbunyi:
Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah:[1]
Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya;
Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain;
Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;
Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga.
Hak Asuh Anak Ketika Bercerai
Lebih lanjut, akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah:[5]
baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi keputusannya;
bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
Berdasarkan uraian tersebut, jika terjadi perceraian, ayah dan ibu dari si anak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata, karena kepentingan anak. Jika ada perselisihan terkait penguasaan anak, maka diputuskan oleh pengadilan.
Selain itu, kami menemukan tolok ukur lain dalam hak pengasuhan anak dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”). Pasal 105 KHI menerangkan bahwa:
Dalam hal terjadinya perceraian:
Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya;
biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka pemeliharaan anak di bawah 12 tahun jatuh kepada ibu dari anak Anda. Jika anak telah mumayyiz, maka anak menentukan sendiri akan diasuh oleh siapa.