Kepada Bapak dan Ibu Jaksa
Anggaplah A memiliki hutang kepada Z yang berupa emas 100 gram. Kemudian pertanyaan saya adalah bolehkah A membayar hutang tersebut dengan menggunakan uang? Atau harus menggunakan emas juga?
Terima kasih atas kepercayaan Saudara kepada halo JPN. Adapun jawaban Kami atas pertanyaan Saudara adalah sebagai berikut:
Pada permasalahan ini sebenarnya perlu dijelaskan apakah penggunaan emas tersebut dipergunakan untuk keperluan apa dan apakah hutang piutang tersebut menggunakan perjanjian tertulis ataukah hanya lisan saja. Dengan begitu, kami berasumsi bahwa emas itu digunakan untuk keperluan pribadi dan tidak diperjualbelikan dan utang piutang tersebut dibuat dengan berdasarkan perjanjian tertulis.Menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) perjanjian tertulis adalah:
Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Sementara, menurut Wirjono Projodikoro dalam buku Asas-Asas Hukum Perjanjian yang menerangkan bahwa perjanjian adalah suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak di mana satu pihak berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal janji, sedangkan pihak lain menuntut pelaksanaannya.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa perjanjian tersebut haruslah suatu hubungan hukum antara satu orang dengan orang lain untuk melaksanakan sesuatu dan pihak lain yang menuntut pelaksanaannya.
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata, syarat terjadinya suatu perjanjian yang sah ialah:
Salim HS, et.al. dalam buku Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU) menyatakan bahwa syarat pertama, yaitu yang menentukan adanya kesepakatan atau consensus para pihak yang membuat perjanjian. Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya, yang sesuai itu adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat dilihat/diketahui orang lain.
Selanjutnya, dalam Pasal 1321 KUH Perdata disebutkan bahwa tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. Oleh karena itu, sepakat yang sah adalah sepakat yang tidak ada unsur kekhilafan, paksaan, dan penipuan.
Syarat kedua adalah kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Menurut Pasal 1329 KUH Perdata, setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap untuk hal itu.
Syarat sahnya perjanjian yang ketiga adalah adanya suatu hal tertentu. Menurut Pasal 1333 KUH Perdata, suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung.
Artinya, meskipun barangnya belum ada pada saat ini, tidak menutup kemungkinan terjadinya perjanjian jika barang itu akan ada di kemudian hari.
Syarat terakhir diatur dalam Pasal 1337 KUH Perdata bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Selain itu, terdapat asas kebebasan berkontrak dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menegaskan bahwa:
Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Hubungan pinjam meminjam dapat dilakukan dengan kesepakatan antara pihak peminjam (debitur) dan pihak yang meminjamkan (kreditur) yang dituangkan dalam bentuk perjanjian.
R. Subekti dalam buku Aneka Perjanjian menjelaskan bahwa perjanjian utang piutang dalam KUH Perdata dapat diidentikkan dengan perjanjian pinjam meminjam barang berupa uang dengan ketentuan yang meminjam akan mengganti dengan jumlah nilai yang sama seperti pada saat ia meminjam (hal. 20).
Pengertian utang piutang sama dengan perjanjian pinjam meminjam yang dijumpai dalam ketentuan Pasal 1754 KUH Perdata yang berbunyi:
Pinjam pakai habis adalah suatu perjanjian, yang menentukan pihak pertama menyerahkan sejumlah barang yang dapat habis terpakai kepada pihak kedua dengan syarat bahwa pihak kedua itu akan mengembalikan barang sejenis kepada pihak pertama dalam jumlah dan keadaan yang sama.
Dari pengertian di atas, jika dikaitkan dengan pertanyaan Anda, maka A adalah debitur dan Z adalah kreditur yang melakukan perjanjian pinjam meminjam, yakni berupa emas.
Maka bentuk pengembalian emas tersebut dapat menggunakan uang jika memang telah disepakati sejak awal oleh A dan Z, dengan catatan telah memenuhi ketentuan Pasal 1320 serta Pasal 1338 KUH Perdata.
Pada Pasal 1758 KUH Perdata berbunyi:
Jika yang dipinjamkan itu berupa barang-barang emas atau perak, atau barang-barang lain, maka peminjam harus mengembalikan logam yang sama beratnya dan mutunya dengan yang ia terima dahulu itu, tanpa kewajiban memberikan lebih walaupun harga logam itu sudah naik atau turun.
Jadi kesimpulannya pengembalian hutang tersebut dapat berupa uang ataupun emas asalkan sesuai dengan kesepakatan.
Demikian Kami sampaikan, apabila Saudara masih memiliki pertanyaan lain yang ingin disampaikan, Saudara dapat berkonsultasi secara langsung ke Pos Pelayanan Hukum Kami yang berada di Kantor Pengacara Negara pada Kejaksaan Negeri Dumai secara gratis.