Saya memiliki toko yang menjual bahan bangunan. Ada salah seorang konsumen yang sering berbelanja di toko. Awalnya semuanya lancar, tetapi belakangan orang tersebut utang Rp45 juta di toko saya dan akan berjanji akan membayarnya kalau usahanya lancar. Setelah barang saya berikan, hingga sekarang orang tersebut tidak bayar utang padahal usahanya berjalan lancar. Pertanyaan saya, upaya hukum apa yang mesti saya lakukan, perkara perdata atau pidana masalah tidak bayar utang tersebut? Adakah hukum orang yang tidak mau bayar utang?
Halo Hamdi,
Terimakasih atas kepercayaan Saudara kepada layanan halo JPN. Adapun jawaban Kami atas pertanyaan Saudara adalah sebagai berikut:
Sebelumnya, kami turut prihatin atas kerugian yang Anda alami. Berdasarkan uraian kronologis yang Anda ceritakan, dapat dipahami bahwa permasalahan tidak bayar utang merupakan permasalahan wanprestasi dalam perjanjian jual beli.
Subekti dalam bukunya yang berjudul Hukum Perjanjian mendefinisikan perjanjian sebagai suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang yang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Perjanjian kemudian melahirkan perikatan yang merupakan suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu (hal. 1). Adapun kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut dikenal dengan istilah prestasi. Ketika prestasi tidak terpenuhi, maka disebut dengan wanprestasi.
Secara spesifik, Subekti dalam buku yang sama mendefinisikan wanprestasi sebagai suatu keadaan di mana si berutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikan, alpa, lalai, ingkar janji, melanggar perjanjian, termasuk melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya (hal. 45). Kemudian, Yahya Harahap dalam buku berjudul Segi-Segi Hukum Perjanjian menjelaskan bahwa wanprestasi adalah pelaksanaan perjanjian yang tidak tepat waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya atau tidak dilaksanakan sama sekali (hal. 60).
Lantas, apa dasar hukum yang mengatur wanprestasi? Sejalan dengan definisi yuridis yang diatur dalam Pasal 1238 KUH Perdata, wanprestasi digambarkan sebagai suatu keadaan dimana debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.
Lalu, apa saja hal yang dapat dikategorikan sebagai wanprestasi? Pada praktiknya dan berdasarkan penjelasan di atas, dikenal 4 bentuk wanprestasi, yakni:
Berdasarkan kasus Anda, dapat dikatakan bahwa bentuk wanprestasi yang dilakukan oleh konsumen Anda adalah tidak melaksanakan apa yang disanggupi akan dilakukannya. Dalam hal ini, konsumen Anda berjanji akan membayar dan melunasi utangnya, tetapi ia tidak bayar utang.
Oleh karenanya, tindakan konsumen yang tidak bayar utang murni merupakan perbuatan wanprestasi, sehingga masuk ke dalam ranah perdata. Dengan demikian, Anda dapat mengajukan gugatan wanprestasi ke Pengadilan Negeri.
Adanya wanprestasi tentu menyebabkan Anda selaku kreditor mengalami kerugian. Dalam hal ini, kreditor memiliki hak untuk memaksa debitur yang wanprestasi untuk memenuhi perjanjian atau melakukan pembatalan perjanjian disertai dengan penggantian biaya kerugian dan bunga.
Masih bersumber dari buku yang sama, Subekti menjelaskan KUH Perdata telah mengatur beberapa tindakan yang dapat dilakukan oleh kreditor dalam hal terjadi wanprestasi, yakni sebagai berikut:
Adapun konsekuensi ganti rugi wanprestasi yang harus dipenuhi debitur kepada kreditor mencakup:
Namun dalam praktiknya, bila terjadi wanprestasi misalnya tidak bayar utang dalam ranah hukum perdata, seringkali kasus seperti ini menjadi ranah hukum pidana yang didasari pasal penggelapan atau penipuan. Berikut ulasannya.
Apakah boleh seseorang melaporkan orang lain ke pihak yang berwajib (kepolisian) karena tidak membayar utang, pada dasarnya tidak ada ketentuan yang melarang hal tersebut. Namun, perlu diingat bahwa Pasal 19 ayat (2) UU HAM, telah mengatur sebagai berikut:
Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.
Berdasarkan bunyi pasal tersebut, menurut hemat kami, walaupun ada laporan kepolisian, seseorang tidak boleh dipidana karena ketidakmampuannya membayar utang.
Walau demikian, dalam praktiknya, permasalahan utang piutang yang tidak dapat diselesaikan secara musyawarah seringkali dilaporkan ke pihak kepolisian dengan dasar penggelapan dan penipuan. Tindak pidana penggelapan dan penipuan diatur dalam KUHP yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan dan UU 1/2023 tentang KUHP baru yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan, yakni pada tahun 2026, yaitu:
KUHP | UU 1/2023 |
Pasal 372 Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak Rp900 ribu. | Pasal 486 Setiap orang yang secara melawan hukum memiliki suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, yang ada dalam kekuasaannya bukan karena tindak pidana, dipidana karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV, yaitu Rp200 juta. |
Pasal 378 Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun. | Pasal 492 Setiap orang yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau kedudukan palsu, menggunakan tipu muslihat atau rangkaian kata bohong, menggerakkan orang supaya menyerahkan suatu barang, memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapus piutang, dipidana karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V yaitu Rp500 juta. |
Berkaitan dengan pasal penggelapan, unsur-unsur Pasal 372 KUHP adalah sebagai berikut:
Kemudian, terkait pasal penipuan, R. Soesilo dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal.261) menerangkan sejumlah unsur-unsur tindak pidana penipuan yang perlu diperhatikan, yaitu:
Selanjutnya, penting untuk diketahui bahwa substansi dari tindak pidana penggelapan dan tindak pidana penipuan adalah jelas berbeda dari suatu perjanjian utang piutang yang merupakan perbuatan hukum perdata. Maka, untuk dapat diproses secara pidana, harus dipenuhi dua unsur, yaitu adanya unsur actus reus (physical element) dan unsur mens rea (mental element). Unsur actus reus adalah esensi dari kejahatan itu sendiri atau perbuatan yang dilakukan, sedangkan unsur mens rea adalah sikap batin pelaku pada saat melakukan perbuatan.
Demikian Kami sampaikan, apabila Saudara masih memiliki pertanyaan yang ingin disampaikan, Saudara dapat berkonsultasi secara langsung ke Pos Pelayanan Hukum Kami yang berada di Kantor Pengacara Negara pada Kejaksaan Negeri Barito Kuala secara gratis