Jika investor melakukan kerjasama pengelolaan lahan dengan PT yang bergerak di bidang perkebunan dan terdapat kontrak di antara mereka, lalu belakangan diketahui ternyata PT tersebut tidak memiliki izin usaha, bagaimana status dari kontrak keriasama tersebut? Apakah batal demi hukum atau dapat dibatalkan?
Sebelumnya kami ucapkan terimakasih atas kepercayaan saudara kepada Tim HALO JPN untuk mendiskusikan permasalahan perdata yang saudara alami, sebelum menjawab permasalahan saudara kami akan menyampaikan beberapa hal tentang hukum perikatan yang berlaku di Indonesia:
Keabsahan perjanjian menurut hukum Indonesia alat ujinya yaitu dengan menggunakan Pasal 1320 KUH Perdata. Suatu perjanjian dinyatakan sah bilamana ia memenuhi ketentuan syarat sahnya perjanjian sebagiamna di atur dalam pasal tersebut yaitu :
Dua syarat yang pertama merupakan syarat subjektif karena berkaitan dengan pihak-pihak ataupun subjek yang melakukan perjanjian sedangkan dua syarat yang terakhir merupakan syarat objektif karena berkaitan dengan objek dan tujuan dari dibuatnya perjanjian itu. Keempat syarat di atas harus dipenuhi secara keseluruhan (kumulatif) tak di penuhinya salah satu atau lebih syarat tersebut mengancam keabsahan perjanjian itu sehingga ia dapat dibatalkan atau batal demi hukum. Suatu perjanjianyang di batalkan atau batal demi hukum tidak memiliki kekuatan mengikat sebagaimana dikehendaki oleh para pihak, dan oleh karenanya tidak memberikan akibat hukum.
Dan berkaitan dengan pertanyaan saaudara di atas terkait dengan status perjanjian kerjasama pengelolaan lahan yang di uat antara investor dengan sebuah Perseroan Terbatas (PT) yang bergerak di bidang usaha perkebunan apabila belakangan diketahui bahwa PT tersebut tidak memiliki izin usaha maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
Kata “belakangan” dimaknai dengan suatu keadaan yang baru diketahui oleh para pihak investor setelah perjanjian antara kedua belah pihak baru tersebut disepakati. Dalam hal ini telah terjadi cacat kehendak atas perjanjian yang telah dibuat tersebut yaitu suatu keadaan yang dapat menyebabkan diganggu gugatnya perjanjian atau dapat dibatalkannya perjanjian.
Menurut Pasal 1321 KUH Perdata, tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.
Pihak investor merupakan pihak yang mengalami kesesatan/kekhilafan terhadap keadaan tersebut. Kesesatan atau kekeliruan di atur lebih lanjut dalam Pasal 1322 KUH Perdata yang berbunyi : kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu persetujuan kecuali juga kekhilafan itu terjadi mengeni hakikat barang yang menjadi pokok persetujuan. Kekhilafan tidak mengakibatkan kebatalan jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai diri orang yang dengannya seseorang bermaksud untuk mengadakan persetujuan, kecuali jika persetujuan itu di berikan terutama karena diri orang yang bersangkutan.
Sehingga suatu kesesatan dianggap terjadi apabila pernyataan sesuai dengan kehendak tersebut di dasarkan atas gambaran yang keliru baik mengenai orangnya atau objeknya. Dalam kasus ini kesesatan yang di maksud adalah mengenai orang.
Menurut perdailan kesesatan adalah gambaran yang keliru yang harus berkenaan dengan sifat sifat atau keadaan keadaan yang bagi pihak yang tersesat mempunyai makna yang menentukan dengan kata lain seandainya pihak yang tersesat tahu bahwa sebenarnya tidak ada sifat sifat atau keadaan keadaan yang dia kira ada maka ia tidak akan menyepakati perjanjian atau setidak tidaknya tidak akan menyepakati perjanjian dengan syarat yang sama.
Sebagaimana telah kami sampaikan suatu perjanjian yang tidak memenuhi syarat subjektif maka perjanjian tersebut dapat di batalkan. Dalam hal ini, kesesatan/kekhilafanini berkaitan dngan syarat pertama mengenai kesepakatan dimana adanya kesesatan menjadikan kehendak salah satu pihak cacat.
Dapat di batalkannya suatu perjanjian di maksud bahwa perjanjian tersebutdapat di batalkannya suatu perjanjian dimaksudkan bahwa perjanjian tersebut dapat di mintakan pembatalan oleh salah satu pihak. Selama belum terjadi pembatalan maka perjanjian tersebut tetap sah dan mempunyai kekuatan mengikat.
Pihak investor mengalami kesesatan karena ijin usaha yang merupakan suatu kewajiban bagi PT ternyata tidak dimiliki PT untuk menjalankan usaha di bidang perkebunan.
Pasal 29 angka 12 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 42 UU Perkebunan menyatakan bahwa:
Kegiatan usaha budi daya tanaman perkebunan dan/atau usaha pengelolaan hasil perkebunan hanya dapat dilakukan oleh perusahaan perkebunan apabila telah mendapatkan hak atas tanah dan/atau ijin usaha perkebunan.
Selanjutnya dipertegas dalam Pasal 29 angka 15 UU Cipta Kerja yang mengubah pasal 47 ayat (1) dan (2) UU Perkebunan menyatakan bahwa :
- penghentian sementara kegiatan;
- pengenaan denda; dan/atau
- paksaan pemerintah pusat.
Berdasarkan ketentuan tersebut PT yang bergerak di bidang usaha perkebunan wajib memiliki ijjn usaha untuk melaksanakan prestasi atas perjanjian yang telah di buat dengan investor. Investor dapat melakukan upaya hukum untuk membatalkan perjanjian karena PT terkait ternyata tidak memiliki ijin usaha yang dimaksud.
Demikian yang kami dapat sampaikan, apabila ada hal lain yang ingin saudara tanyakan kami persilahkan untuk datang berkonsultasi secara langsung ke Pos Pelayanan Hukum Gratis di Kantor Jaksa Pengacara Negara Kejaksaaan Tinggi Bali. Terima kasih.