Saat A merenovasi rumah, ada saudara A yang memberikan bantuan berupa material, padahal tanpa ada permintaan dari si A. Beberapa tahun kemudian A meninggal dan sementara anak A menagih uang biaya renovasi rumah yang dikeluarkan oleh ayahnya kepada si A. Apakah A harus mengembalikan bantuan tersebut? padahal dari awal tidak ada akad utang piutang.
Terima kasih atas kepercayaan Saudara kepada halo JPN. Adapun jawaban Kami atas pertanyaan Saudara adalah sebagai berikut:
Sahnya perjanjian menurut Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) berbunyi:
Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang.
Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
Subekti dalam buku Hukum Perjanjian (hal. 1) menerangkan bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji melaksanakan sesuatu hal.
Pada pasal 1320 KUH Perdata menerangkan bahwa supaya terjadi perjanjian yang sah, perlu dipenuhi empat syarat:
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu pokok persoalan tertentu;
4. suatu sebab yang tidak terlarang.
Berdasarkan uraian tersebut, maka perjanjian untuk saling melakukan sesuatu baru dipandang sah ketika telah memenuhi empat unsur di atas.
Selanjutnya mengenai Perjanjian Tertulis dan Perjanjian Lisan.
Pasal 1867 KUH Perdata menguraikan bahwa pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan autentik atau dengan tulisan di bawah tangan.
Suatu akta autentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.
Sedangkan apabila penjelasan atas tulisan di bawah tangan dapat ditemukan dalam Alinea Pertama Pasal 1874 KUH Perdata, yang berbunyi:
Yang dianggap sebagai tulisan di bawah tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan yang lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum.
Di sisi lain, perjanjian yang dibuat secara lisan juga masih dipandang sebagai perjanjian yang sah. Hal tersebut dikarenakan Pasal 1320 KUH Perdata tidak mengharuskan perjanjian dibuat dalam bentuk tertulis.
Sebagai contoh, pada Pasal 1571 KUH Perdata menjelaskan bahwa:
Jika sewa tidak dibuat dengan tulisan, maka sewa itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan, melainkan setelah salah satu pihak memberitahukan kepada pihak yang lain bahwa ia hendak menghentikan sewanya dengan mengindahkan tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat.
Maka KUH Perdata mengakui bahwa adanya perjanjian lisan sebagai perjanjian yang sah. Baik tertulis maupun lisan, perjanjian tetap tunduk pada akibat dari perjanjian tersebut, yang diuraikan dalam Pasal 1338 KUH Perdata:
Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Maka dari itu, perjanjian tersebut mengikat bagi para pihak dan hanya dapat ditarik kembali berdasarkan kesepakatan para pihak pula.
Lahirnya Perjanjian
Subekti dalam buku yang telah disebut di atas (hal. 26) menerangkan bahwa suatu perjanjian lahir pada detik tercapainya kesepakatan atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi objek perjanjian. Sepakat adalah suatu persesuaian paham dan kehendak antara dua pihak tersebut.
Namun, Subekti menegaskan bahwa yang terpenting bukan lagi kehendak, melainkan apa yang dinyatakan oleh seseorang, karena pernyataan inilah yang dapat dipakai sebagai pegangan untuk orang lain.
Apabila ada perselisihan antara apa yang dikehendaki dan apa yang dinyatakan oleh suatu pihak, maka pernyataan itulah yang menentukannya. Suatu pernyataan yang diucapkan secara bersenda gurau tidak boleh dipegang untuk dijadikan dasar bagi suatu perjanjian. Lagipula, apabila suatu pernyataan yang senyatanya atau mungkin sekali keliru, tidak boleh dianggap sudah terbentuknya suatu kesepakatan dan dijadikan dasar bagi suatu perjanjian yang mengikat (hal. 26 27).
Berdasarkan uraian tersebut, maka perjanjian utang piutang, seperti yang Anda tanyakan, lahir ketika para pihak memang menyatakan adanya utang piutang di antara keduanya, bukan hanya dalam bentuk kehendak. Pernyataan itu pun harus dinyatakan dengan layak, karena pernyataan yang mungkin saja ditafsirkan keliru, tidak melahirkan perjanjian.
Apabila memang tidak ada pernyataan dari saudara A yang menyatakan bahwa bantuan yang diberikan menjadi utang bagi A, maka utang piutang tidak terjadi, karena tidak adanya kesepakatan dari para pihak tentang hal itu.
Bantuan tersebut pun dapat dipandang sebagai perjanjian cuma-cuma yang diterangkan dalam Pasal 1314 KUH Perdata, yang menerangkan bahwa:
Suatu persetujuan diadakan dengan cuma-cuma atau dengan memberatkan. Suatu persetujuan cuma-cuma adalah suatu persetujuan, bahwa pihak yang satu akan memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain tanpa menerima imbalan. Suatu persetujuan memberatkan adalah suatu persetujuan yang mewajibkan tiap pihak untuk memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.
Apabila saudara A memberikan bantuan tersebut terhadap A tanpa meminta imbalan apapun, maka hal tersebut dipandang sebagai perjanjian cuma-cuma dan dianggap memberikan keuntungan pada A tanpa menerima imbalan atau menjadikannya utang. Jadi A tidak perlu mengembalikan bantuan tersebut.
Demikian Kami sampaikan, apabila Saudara masih memiliki pertanyaan lain yang ingin disampaikan, Saudara dapat berkonsultasi secara langsung ke Pos Pelayanan Hukum Kami yang berada di Kantor Pengacara Negara pada Kejaksaan Negeri Dumai secara gratis.