Teman dari Sdri.Jumiah menekan Sdri.Jumiah untuk menyepakati suatu perjanjian yang isinya mewajibkan Sdri.Jumiah untuk membayar sejumlah uang kepada yang bersangkutan. Tekanan fisik ataupun paksaan sebenarnya tidak ada, hanya tekanan psikis yang Sdri.Jumiah dimana seorang diri dikelilingi oleh teman dan saudara-saudaranya dan orang-orang bertubuh tegap dirumah temannya tersebut. Karena keadaan itu Sdri.Jumiah merasa tertekan dan akhirnya menandatangani perjanjian itu padahal isinya bukan sesuai kehendak beliau. Sekarang temannya ingin menagih piutangnya kepada Sdri.Jumiah sebagaimana yang ada didalam perjanjian tersebut. Apakah perjanjian tersebut benar-benar sah dan mengikat karena Sdri.Jumiah sudah menandatanganinya dan apa yang harus dilakukan oleh Sdri.Jumiah?
Terima kasih atas kepercayaan Saudara kepada kepada halo JPN. Adapun jawaban Kami atas pertanyaan Saudara adalah sebagai berikut:
Secara kasat mata, bisa saja dikatakan perjanjian itu sah karena Sdri.Jumiah dan temannya sudah menandatanganinya sehingga dianggap telah sepakat. Namun perlu dipahami bahwa perjanjian adalah batal atau tidak sah, apabila diberikan karena paksaan. Paksaan terjadi bila ada tindakan sedemikian rupa sehingga memberi kesan dan dapat menimbulkan ketakutan pada orang yang berakal sehat, bahwa dirinya, orang-orangnya, atau kekayaannya, terancam rugi besar dalam waktu dekat. Dalam pertimbangan hal tersebut, harus diperhatikan usia, jenis kelamin dan kedudukan orang yang bersangkutan (pasal 1324 KUHPerdata). Bahwa asas kebebasan berkontrak dalam membuat perjanjian harus betul-betul memperhatikan kedudukan para pihak yang membuat perjanjian berada dalam keadaan yang seimbang, sehingga kedua belah pihak dapat bebas menyatakan kehendaknya. Bahwa hakim berwenang menilai apakah perjanjian itu dibuat oleh para pihak dalam keadaan seimbang atau tidak. Hal tersebut sebagaimana ditegaskan dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No.3641 K/Pdt/2001 tanggal 11 September 2002, yang kaidah hukumnya sebagai berikut :
Dalam azas kebebasan berkontrak Hakim berwenang untuk meneliti dan menyatakan bahwa kedudukan para pihak berada dalam yang tidak seimbang, sehingga salah satu pihak dianggap tidak bebas menyatakan kehendaknya.
Dalam hal perjanjian yang bersifat terbuka, nilai-nilai hukum yang hidup dimasyarakat sesuai dengan kepatutan, keadilan, perikemanusiaan dapat dipakai sebagai upaya perubahan ketentuan-ketentuan yang disepakati dalam perjanjian.
Jadi perjanjian yang sudah ditandatangani tidak mutlak sah dan mengikat. Apabila dalam pembuatan perjanjian tersebut ada kedudukan yang tidak seimbang dan keadaan-keadaan yang tidak bebas, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Adapun yang bisa dilakukan adalah mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum agar pengadilan menyatakan perjanjian tersebut tidak sah dan batal demi hukum.
Berdasarkan kasus posisi yang sudah dijelaskan dan jawaban yang diterangkan oleh Jaksa Pengacara Negara dapat ditarik kesimpulan, bahwa perjanjian yang sudah ditandatangani tidak mutlak sah dan mengikat. Apabila dalam pembuatan perjanjian tersebut ada kedudukan yang tidak seimbang dan keadaan-keadaan yang tidak bebas, maka perjanjian tersebut batal demi hukum.