Siang bapak/ibu
Pertanyaan kami, bagaimana pembagian rumah tersebut? Dan apakah istri saya mendapat bagian?
Terima kasih atas kepercayaan Saudara kepada kepada halo JPN. Adapun jawaban Kami atas pertanyaan Saudara adalah sebagai berikut:
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak ada ketentuan yang mengatur pengangkatan anak, namun dalam Pasal 852 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dikatakan bahwa Ahli waris ialah anak-anak atau sekalian keturunan mereka, biar dilahirkan dari lain-lain perkawinan sekali pun mewaris dari kedua orang tua, kakek, nenek, atau semua keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus ke atas, dengan tiada perbedaan antara laki atau perempuan dan tiada perbedaan berdasarkan kelahiran lebih dulu.
Sementara di dalam ketentuan Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam (KHI), dikatakan bahwa ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Dari kedua ketentuan pasal di atas dapat dikatakan bahwa ahli waris merupakan mereka yang memiliki hubungan darah/sedarah dengan pewaris. Inilah dasar hukum yang menegaskan bahwa anak angkat tidak bisa dikatakan sebagai ahli waris. Anak angkat (anak adopsi) bukan merupakan anak yang memiliki hubungan darah. Sedangkan syarat utama pewarisan adalah adanya hubungan darah. Ada dua cara yang dapat dilakukan untuk memberikan pemenuhan hak anak angkat mengenai harta waris yaitu dengan memberikan hibah sesuai KUHPer maupun dengan wasiat berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Menurut Pasal 957 KUHPerdata, hibah wasiat ialah: Suatu penetapan wasiat yang khusus dengan mana si yang mewariskan kepada seorang atau lebih memberikan beberapa barang-barangnya dari suatu jenis tertentu seperti misalnya segala barang-barangnya bergerak atau tak bergerak atau memberikan hak pakai hasil atas seluruh atau sebagian harta peninggalannya.
Pemberian hibah wasiat sebagai pemenuhan hak anak angkat terhadap harta waris harus dilakukan secara adil. Maksudnya, bila pemberian hibah tersebut memiliki nilai yang terlalu besar sehingga mengurangi hak dari ahli waris sah, maka nominalnya harus dikurangi. Di sisi lain, apabila orang tua angkat yang merupakan penghibah telah mewasiatkan ketentuan lain, maka pemberian harta berjumlah besar dapat dilakukan, sebagaimana disebutkan pada Pasal 972 KUHPerdata: Apabila warisan tidak seluruhnya atau untuk sebagian diterimanya, atau apabila warisan diterimanya dengan hak istimewa akan pendaftaran harta peninggalan, dan yang ini tidak mencukupi guna memenuhi akan segala wasiat, maka hibah-hibab itu dalam keseimbangan dengan besarnya, harus dikurangi, kecuali yang mewariskan tentang hal ini, telah menetapkan ketentuan-ketentuan lain dalam surat wasiatnya.
Berdasarkan Ketentuan Hukum Islam (KHI) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 171 huruf C bahwa ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Dengan demikian berdasarkan hukum Islam, pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam hal hubungan darah, hubungan wali-mewali dan hubungan waris mewaris dengan orang tua angkat. Ia tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai nama dari ayah kandungnya. Anak adopsi tidak mewarisi harta peninggalan orang tua angkatnya, karena pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam hanya peralihan tanggung jawab pemeliharaan, biaya pendidikan dan sebagainya dari orang tua kandung kepada orang tua angkat (Pasal 171 huruf h KHI). Untuk melindungi hak dari anak adopsi tersebut, maka orang tua angkat dapat memberikan wasiat asalkan tidak melebihi 1/3 harta peninggalannya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 194 KHI bahwa Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga. Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.
Pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal ini baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia. Wasiat ini dapat diberikan kepada anak angkat untuk menjamin harta yang dapat ia peroleh setelah orang tua angkatnya meninggal. Namun, apabila orang tua angkatnya belum mempersiapkan wasiat, dapat berlaku ketentuan Pasal 209 ayat (2) yakni: Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajib sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya. Dalam kasus yang anda sampaikan, kami asumsikan anda beragama Islam sehingga berlaku ketentuan waris yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. Karena Istri anda adalah anak angkat maka sesuai dengan ketentuan Pasal 171 huruf C Kompilasi Hukum Islam (KHI) suami anda bukan ahli waris dari orang tua angkatnya. Anak angkat boleh mendapat harta dari orang tua angkatnya melalui wasiat. Besarnya wasiat tidak boleh melebihi 1/3 harta. Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajib sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya. Dari penjelasan di atas dapat kami sampaikan secara umum pembagian harta waris terhadap anak angkat yaitu tidak boleh melebihi 1/3 dari harta orang tua angkatnya jika orang tua angkatnya membuat wasiat, tetapi apabila orang tua angkatnya tidak membuat wasiat maka anak angkat/adopsi diberi wasiat wajib dan sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya. Mengenai pembagian rumah yang anda tanyakan dapat disampaikan kepada saudara-saudara almarhum agar dapat dibagikan harta waris secara adil termasuk hak istri anda yaitu 1/3 dari harta waris orang tua angkatnya.
Demikian Kami sampaikan, apabila Saudara masih memiliki pertanyaan lain yang ingin disampaikan, Saudara dapat berkonsultasi secara langsung ke Pos Pelayanan Hukum Kami yang berada di Kantor Pengacara Negara pada Kejaksaan Negeri Bengkalis secara gratis.