Assalammualaikum wr wb bapak/ ibu.
Setelah menikah, ponakan saya membeli tanah dengan sertifikat atas namanya, berjalannya waktu dikarenakan permasalahan rumah tangga yang tidak bisa saya sampaikan timbullah ketidakharmonisan diantara keduanya, terhadap istri yang tidak mengeluarkan uang sedikitpun, apakah ponakan yang mau menjual tanahnya itu tetap atas persetujuan istrinya?
Walaikumsalam wr wb. Terimakasih sebelumnya.
Assalammualaikum Wr. Wb. Halo Bapak MULIADI. Salam sehat bagi kita semua.
Terima kasih atas kepercayaan Bapak kepada Jaksa Pengacara Negara Kejari Kolaka. Adapun jawaban kami atas pertanyaan Bapak adalah sebagai berikut:
Sebelumnya oleh karena keterangan Bapak dirasa belum cukup lengkap, maka kami JPN mengamsumsikan bahwa pernikahan yang dilakukan oleh ponakan Bapak beserta istrinya dilaksanakan tanpa adanya perjanjian pranikah.
Bahwa dapat kami uraikan, didalam ketentuan Pasal 35 ayat (1) Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa, Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Selama suami-istri yang terikat dalam hubungan perkawinan sah tidak mengatur tentang perjanjian perkawinan, maka dalam hubungan perkawinan itu telah terjadi penggabungan harta suami dan istri, yang disebut harta bersama. Semua harta yang diperoleh baik suami maupun istri selama perkawinan menjadi milik bersama.
Bahwa ketentuan tentang harta bersama selanjutnya diatur dalam Pasal 36 ayat (1) Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menerangkan bahwa, Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Dengan demikian, salah satu pihak baik suami maupun istri, tidak dapat mengecualikan atau mengesampingkan pihak lainnya untuk menjual, menghibahkan atau melakukan perbuatan hukum lainnya terhadap bidang tanah tersebut, karena kedudukannya suami-istri adalah setara, yakni menjadi pemilik yang sama atas harta bersama berupa bidang tanahnya.
Bahwa dalam hal ini, tanah yang dibeli oleh ponakan Bapak setelah menikah berdasarkan ketentuan hukum dianggap sebagai harta bersama. Peralihan hak atas tanah yang ingin dilaksanakan melalui proses jual beli harus dilakukan melalui Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan tidak bisa mengesampingkan persetujuan istrinya.
Bahwa dari uraian tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan, selama didalam perkawinan yang sah tidak terdapat perjanjian pranikah sebelumnya perihal pemisahan harta bersama, maka terhadap harta yang diperoleh selama pernikahan dianggap sebagai harta bersama, dimana apabila terhadap harta bersama tersebut dilakukan perbuatan hukum maka harus didasarkan pada persetujuan bersama antara suami-istri.
Bahwa tata cara peralihan tanah tersebut wajib ditaati dan tidak boleh dilanggar, apabila suami ataupun karena kelalaian PPAT dengan sengaja ataupun tidak tetap mengesampingkan persetujuan istri. Apabila hal tersebut terjadi, maka proses jual beli tanah tersebut merupakan perbuatan melawan hukum, artinya perbuatan hukum tersebut batal demi hukum. Pihak yang dengan sengaja atau tidak sengaja (kelalaiannya) melanggar ketentuan ini dapat dituntut berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata karena perbuatan melanggar hukum. Dapat kita ketahui bersama bahwa dalam Pasal 1365 KUHPerdata menerangkan, Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut..
Demikian jawaban dari kami, apabila Bapak masih memiliki pertanyaan lain yang ingin disampaikan, Bapak dapat berkonsultasi secara langsung ke Pos Pelayanan Hukum kami yang berada di Kantor Pengacara Negara pada Kejaksaan Negeri Kolaka secara gratis.
Wassalammualaikum wr. wb.