Selamat pagi Bapak/Ibu JPN, perkenalkan nama saya Pius Kato Jatmiko, saya dimintai tolong tetangga saya bernama Pak Kardiyo untuk menanyakan permasalahan sebagai berikut :
Pak Kardiyo seorang suami yang saat ini sedang dalam proses perceraian dengan isterinya karena pak Kardiyo sudah tidak tahan menghadapi perilaku isterinya yang suka berhutang untuk memenuhi gaya hidup dan hanya mengikuti teman-temannya saja.
Pak Kardiyo sering didatangi oleh tim penagihan salah satu bank swasta yang memintanya untuk melunasi utang isterinya, bahkan mereka mengancam akan menyita barang-barang milik Pak Kardiyo secara paksa. Tagihan tersebut adalah tagihan atas nama isteri Pak Kardiyo dan Pak Kardiyo sendiri tidak mengetahui keberadaan utang tersebut untuk keperluan apa karena isterinya tidak pernah meminta persetujuan kepada Pak Kardiyo dalam pengajuan utang bank, sehingga Pak Kardiyo menolak untuk melunasi utang isterinya.
Yang ingin saya tanyakan :
Sebelumnya kami ucapkan Terimakasih.
Terima kasih atas kepercayaan Saudara kepada layanan halo JPN. Adapun jawaban Kami atas pertanyaan Saudara adalah sebagai berikut :
Mengenai utang dalam perkawinan menurut Prof. Subekti, S.H dalam bukunya berjudul Pokok-pokok Hukum Perdata hal. 34 menyatakan dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu utang pribadi (utang prive) dan utang persatuan (utang gemeenschap) atau suatu utang untuk keperluan bersama. Untuk suatu utang pribadi yang dituntut untuk membayar adalah suami atau isteri yang membuat utang tersebut, sedangkan yang harus disita pertama-tama adalah benda prive (benda pribadi). Apabila tidak terdapat benda pribadi atau ada tetapi tidak mencukupi untuk pelunasan utang, maka dapatlah harta bersama disita juga. Akan tetapi, jika suami yang membuat utang, benda pribadi isteri tidak dapat disita, dan begitu pula sebaliknya jika ada hutang isteri. Namun, perlu diperhatikan bahwa utang pribadi yang bisa dimintai pelunasannya dari harta bersama adalah utang pribadi yang berasal dari perjanjian utang piutang dengan persetujuan pasangan. Hal ini adalah konsekuensi yang logis dari prinsip dalam Pasal 36 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan UU Nomor 16 Tahun 2019 yang menyatakan bahwa mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak hanya atas persetujuan kedua belah pihak.
Bahwa mengenai utang dalam perkawinan ini diatur pula dalam Pasal 93 ayat (1), (2), (3), dan ayat (4) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan terhadap utang suami atau isteri dibebankan pada hartanya masing-masing. Akan tetapi pertanggungjawaban terhadap utang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama. Dalam hal harta bersama tidak mencukupi, maka kemudian dibebankan kepada harta suami, baru setelahnya apabila masih tidak mencukupi dibebankan kepada harta isteri.
Dengan demikian, dari permasalahan yang disampaikan diatas apabila utang isteri adalah hutang pribadi yang dibuat tanpa persetujuan suami, maka pelunasan utang tersebut tidak dapat diambil dari harta bersama maupun harta pribadi suami.
Selanjutnya mengenai tim penagih utang (debt collector) yang mengancam akan melakukan penyitaan, hal tersebut tidak dapat dibenarkan, mengingat debt collector yang mendapat kuasa dari kreditur untuk menagih utang tidak boleh menyita paksa barang-barang milik debitur. Sebab pada prinsipnya, penyitaan barang-barang milik debitur yang wanprestasi hanya bisa dilakukan atas dasar putusan pengadilan. Perbuatan debt collector yang melakukan penyitaan atau mengambil secara paksa barang-barang milik debitur bisa dikenakan pidana (melanggar pasal 362 KUHP atau 365 KUHP).
Demikian Kami sampaikan, apabila Saudara masih memiliki pertanyaan lain yang ingin disampaikan, Saudara dapat berkonsultasi secara langsung ke Pos Pelayanan Hukum Kami yang berada di Kantor Pengacara Negara pada Kejaksaan Negeri Yogyakarta secara gratis.
Demikian Jawaban Kami Semoga Bermanfaat.