Dijawab tanggal 2025-06-05 15:49:31+07
Terima kasih atas kepercayaan Saudara kepada layanan halo JPN. Adapun jawaban Kami atas pertanyaan Saudara adalah sebagai berikut :
Sebelum membahas sengketa, penting memahami bahwa:
- Pengukuran oleh Kantor Pertanahan (melalui BPN atau ATR/BPN) menghasilkan data yuridis dan fisik yang digunakan untuk penerbitan sertifikat hak atas tanah, dan dianggap memiliki kekuatan hukum yang lebih tinggi.
- SPT PBB diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), yang memuat data perpajakan, termasuk luas tanah dan bangunan sebagai dasar perhitungan pajak. Data ini tidak selalu diperbarui secara akurat, apalagi jika ada perubahan fisik atau administrasi tanah yang belum dilaporkan.
Perbedaan luas/batas tanah ini dapat memicu beberapa bentuk sengketa keperdataan, misalnya:
- Sengketa batas tanah dengan tetangga (overlapping klaim)
- Sengketa jual beli karena luas yang diperjualbelikan tidak sesuai dengan kenyataan
- Sengketa waris terkait pembagian objek tanah
Menurut Hukum Perdata
- KUHPerdata (Pasal 1320 dan seterusnya) menjadi dasar sahnya perjanjian dan objek dalam transaksi tanah.
- Bila ada perselisihan atas luas atau batas tanah, pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri untuk menuntut pembatalan perjanjian, ganti rugi, atau penetapan hak.
Menurut Hukum Agraria (UUPA & Peraturan Turunannya)
- Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 menetapkan bahwa bukti hak atas tanah adalah sertifikat yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan.
- Jika terjadi perbedaan antara data sertifikat (hasil pengukuran BPN) dan SPT PBB, maka data sertifikat lebih diutamakan karena telah melalui proses pengukuran, verifikasi, dan pencatatan yuridis.
- Penyelesaian dapat dilakukan melalui:
- Permohonan pengukuran ulang atau pemetaan ulang ke BPN
- Mediasi di Kantor Pertanahan
- Jika tidak ada kesepakatan, maka pengajuan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk sengketa administrasi tanah atau Pengadilan Negeri untuk sengketa perdata
Dalam praktik, pengadilan sering kali mengabaikan luas tanah di SPT PBB sebagai alat bukti utama, karena:
- SPT PBB hanya alat bantu pembanding
- Sertifikat tanah dan hasil pengukuran resmi dari BPN memiliki kekuatan pembuktian yang lebih tinggi
Kesimpulan
- Ya, perbedaan luas dan batas tanah antara pengukuran BPN dan SPT PBB dapat menjadi dasar sengketa keperdataan, terutama bila menimbulkan kerugian atau tumpang tindih klaim.
- Penyelesaiannya mengacu pada hukum perdata (gugatan ke pengadilan) dan/atau hukum agraria (pengukuran ulang, mediasi di BPN, atau sengketa di PTUN), dengan data dari BPN lebih diutamakan daripada SPT PBB.
Demikian kami sampaikan, apabila sudara masih memiliki pertanyaan yang ingin disampaikan terkait hal ini, saudara dapat berkonsultasi secara langsung ke Pos Pelayanan Hukum kami yang berada di Kantor Pengacara Negara pada Kejaksaan Negeri Singkawang secara gratis.
Jika anda kurang puas dengan jawaban ini, silakan berkonsultasi lebih lanjut dengan Jaksa Pengacara Negara pada
KN. SINGKAWANG
Alamat : Jl. Firdaus H Rais Singkawang Barat, Kota Singkawang, Provinsi Kalimantan Barat.
Kontak : 82150871559