Saya ingin membawa kasus saya ke pengadilan agar pelaku jera. Setahun yang lalu saya dijanjikan akan dinikahi oleh seorang pria. Dia mengaku punya ini-itu, lulusan hukum universitas ternama tetapi ternyata belum lulus dan pengangguran. Saya merasa dimanfaatkan pikiran, waktu, uang, tenaga, dan perasaan saya. Sudah setahun dia tidak kunjung melamar padahal kami sudah berhubungan badan. Ternyata dia juga menjanjikan pernikahan pada banyak perempuan lain. Mengobral pernikahan hanya untuk meniduri banyak wanita. Saya ingin menggugat dia, langkah apa saja yang harus saya lakukan? Apakah ada pasal yang berkaitan? Bukti yang saya punya antara lain bukti percakapan dan saksi keluarga dan teman.
Bahwa Perlu Anda ketahui, pada dasarnya hubungan berpacaran tidak menimbulkan akibat hukum apa-apa. Pacaran bukan merupakan hubungan hukum seperti halnya suami dengan istri. Oleh karena itu, tidak ada hak dan kewajiban yang timbul di antara kedua orang yang berpacaran sehingga jika satu pihak dirugikan, maka ia tidak bisa menuntut kewajiban pihak lainnya untuk bertanggung jawab.
Akan tetapi, dalam putusan suatu perkara, hakim Mahkamah Agung (“MA”) secara tegas menyatakan tidak menepati perjanjian untuk melangsungkan pernikahan adalah Perbuatan Melawan Hukum (PMH), namun ada syaratnya. Dalam artikel Menggugat Janji-Janji Kekasih, Bisakah? yang ditulis oleh Anggara dikatakan bahwa jika pria berjanji mengawini ketika telah terjadi hubungan seksual karena janji tersebut kemudian terjadi hubungan seksual atau telah melakukan perbuatan yang dapat dianggap serius dalam tata hubungan kemasyarakatan, seperti telah terjadi pertunangan atau mengumumkan akan terjadinya perkawinan, maka hal itu bisa menjadi dasar untuk menuntut kerugian. Hal ini sama dengan kasus yang Anda alami.
Bahwa dalam Pasal 58 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata’) merumuskan tiga hal:
1. Pertama, janji menikahi tidak menimbulkan hak untuk menuntut di muka hakim untuk dilangsungkannya perkawinan. Juga tidak menimbulkan hak untuk menuntut penggantian biaya, kerugian, dan bunga, akibat tidak dipenuhinya janji itu. Semua persetujuan ganti rugi dalam hal ini adalah batal.
2. Kedua, namun jika pemberitahuan nikah telah diikuti suatu pengumuman, maka hal ini dapat menjadi dasar untuk menuntut kerugian.
3. Ketiga, masa daluarsa untuk menuntut ganti rugi tersebut adalah 18 bulan terhitung sejak pengumuman rencana perkawinan.
Masih bersumber dari artikel yang sama, setidaknya ada beberapa putusan MA yang mendukung atau dapat menjadi dasar apabila hendak mengajukan gugatan karena janji mengawini seperti di atas tadi. Di antaranya adalah Putusan Mahkamah Agung RI No. 522 K/Sip/1994, Putusan Mahkamah Agung RI No 3191 K/Pdt/1984 tertanggal 8 Februari 1986, dan Putusan Mahkamah Agung RI No 3277 K/Pdt/2000 tertanggal 18 Juli 2003.
Kita ambil salah satu putusan di atas. Bersumber dari artikel Tidak Menepati Janji Menikahi adalah PMH, dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 522 K/Sip/1994, MA menghukum si pria (sebut saja D) yang kebablasan bertindak setelah berjanji menikahi, dan bertunangan dengan seorang perempuan (sebut saja R). Gara-gara janji menikahi ‘nyaris’ terealisir, D dan R melakukan hubungan suami istri sampai sang perempuan hamil. Kehamilan itu ternyata tidak diharapkan D, dan memaksa calon pasangannya menggugurkan kandungan. Upaya paksa dibarengi dengan pukulan dan tendangan. MA akhirnya menghukum si pria dengan pidana menyerang kehormatan susila, pencurian dengan kekerasan, dan penganiayaan mengakibatkan luka berat.
Dalam putusan atas perkara lain, dijelaskan juga dalam artikel yang sama, MA secara tegas menyatakan tidak menepati perjanjian untuk melangsungkan pernikahan adalah Perbuatan Melawan Hukum (“PMH”). Karena itu pula, tergugat dihukum membayar ganti rugi kepada penggugat untuk pemulihan nama baik penggugat.
Soal langkah hukum yang dapat Anda lakukan, Anda dapat mengumpulkan bukti-bukti yang ada kemudian menggugat pria tersebut atas dasar PMH. Seperti yang sering dijelaskan dalam beberapa artikel sebelumnya, salah satunya dalam artikel Merasa Dirugikan Tetangga yang Menyetel Musik Keras-keras, dikatakan antara lain Mariam Darus Badrulzaman dalam bukunya “KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan”, seperti dikutip Rosa Agustina dalam buku Perbuatan Melawan Hukum (hal. 36) yang menjabarkan unsur-unsur perbuatan melawan hukum sebagai berikut:
a. Harus ada perbuatan (positif maupun negatif);
b. Perbuatan itu harus melawan hukum;
c. Ada kerugian;
d. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian;
e. Ada kesalahan.
Menurut Rosa Agustina (hal. 117), yang dimaksud dengan “perbuatan melawan hukum”, antara lain:
1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku
2. Bertentangan dengan hak subjektif orang lain
3. Bertentangan dengan kesusilaan
4. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.
Anda bisa menggugat kekasih Anda karena telah melakukan PMH dan meminta sejumlah ganti rugi kepada kekasih Anda (atau keluarganya) karena tidak menepati janji menikahi Anda.
Mahkamah Agung pernah menghukum seorang pria yang menjadi tergugat melakukan Perbuatan Melawan Hukum karena tak menepati janji untuk menikahi, dalam sebuah kasus yang terjadi di Nusa Tenggara Barat. Berdasarkan keterangan atasan tergugat, tergugat sudah memperkenalkan penggugat sebagai calon istrinya kepada orang lain. Beberapa dokumen penting, seperti tabungan, juga sudah diserahkan tergugat kepada penggugat sebagai bukti keseriusannya mau menikahi. Mereka malah hidup bersama. Tetapi ketika si perempuan menagih janji untuk dinikahi, si laki-laki ingkar. MA menyatakan perbuatan di pria “melanggar norma kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat”. Karena itu pula, perbuatan si pria dianggap sebagai perbuatan melawan hukum.
Demikian berita acara ini dibuat dengan sebenarnya, kemudian ditutup dan ditandatangani pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut di atas.