Selamat pagi JPN saya ijin bertanya mengenai bagaimana hukum waris anak laki-laki dan anak perempuan dalam hukum islam dan hukum negara, dan apakah bisa harta waris dibagikan walaupun orang tua perempuan (ibu) masih hidup ? terimkasih jawabannya
Terima kasih kami ucapkan atas pertanyaan yang telah saudara ajukan kepada kami, dapat kami sampaikan bahwa dalam hukum waris Islam, pada prinsipnya pembagian terhadap anak laki-laki lebih besar dari anak perempuan. Hal ini berdasarkan ketentuan dalam Pasal 176 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan sebagai berikut
Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separuh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan.
Namun demikian, sesuai dengan Pasal 201 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa :
Apabila wasiat melebihi sepertiga dari harta warisan, sedangkan ahli waris lainnya ada yang tidak menyetujuinya, maka wasiat hanya dilaksanakan sampai batas sepertiga harta warisan.
Sedangkan berdasarkan hukum negara yang dimaksud dalam hal ini kami simpulkan berdasarkan KUHPerdata adapun besaran bagian para ahli waris berdasarkan KUHPerdata, dalam hal ini mengenai besaran ahli waris laki-laki dengan ahli waris perempuan, memiliki bagian sama antara anak laki-aki dengan anak perempuan sesuai dengan ketentuan Pasal 852 ayat (1) KUHPerdata yang menjelaskan sebagai berikut:
Anak-anak atau sekalian keturunan mereka, biar dilahirkan dari lain-lain perkawinan sekali pun, mewaris dari kedua orang tua, kakek, nenek, atau semua keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus ke atas, dengan tiada perbedaan antara laki atau perempuan dan tiada perbedaan berdasarkan kelahiran lebih dulu.
Hukum waris Barat (KUHPerdata) mengenal prinsip legitime portie (bagian mutlak) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 913 KUHPerdata yang menentukan bahwa:
Legitime portie adalah suatu bagian dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada para waris dalam dalam garis lurus menurut undang-undang, terhadap bagian mana si yang meninggal tak diperbolehkan menetapkan sesuatu, baik selaku pemberian antara yang masih hidup, maupun selaku wasiat.
Prinsip legitime portie menentukan bahwa ahli waris memiliki bagian mutlak dari peninggalan yang tidak dapat dikurangi sekalipun melalui surat wasiat si pewaris. Dalam hal ini, bagian mutlak bagi para ahli waris adalah tiga perempat dari harta warisan. Hal ini sesuai dengan Pasal 914 ayat (3) KUHPerdata yang menyatakan sebagai berikut :
Tiga orang atau lebih pun anak yang ditinggalkannya, maka tiga perempatlah bagian mutlak itu dari apa yang sedianya masing-masing mereka harus mewarisinya, dalam perwarisan.
Terhadap setiap pemberian atau penghibahan yang mengakibatkan berkurangnya bagian mutlak dalam pewarisan, dapat dilakukan pengurangan hanya berdasarkan tuntutan dari ahli waris ataupun pengganti mereka.
Selanjutnya mengenai aturan Perkawinan dan Mewaris diatur dalam Pasal 852 KUHPerdata, berlaku untuk golongan WNI Timur Asing Tionghoa, yang bukan beragama Islam. Dalam hal mengenai warisan seorang suami atau istri yang meninggal terlebih dahulu, si istri atau suami yang hidup terlama dipersamakan dengan seorang anak yang sah dari yang meninggal. Berdasarkan ketentuan tersebut berarti anak-anak keturunan berhak mewaris dari orang tua atau kakek-nenek dan keluarga sedarah dengan jumlah bagian yang sama. Begitu pula istri, memiliki hak dan besaran warisan seperti halnya anak sah. Tetapi secara umum untuk semua WNI, ada hukum positif yang berlaku untuk kita semua, yaitu UU No.1 Tahun 1974 (Tentang Perkawinan) yang juga memiliki kaitan dengan masalah warisan, karena adanya ketentuan mengenai Harta Bersama. Di dalam UU Perkawinan diatur tentang Harta Benda Dalam Perkawinan pada Pasal 35, yang menyatakan:
1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2) Harta bawaan dari masing-masing suami istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Dan untuk yang beraga Islam dikhususkan lagi pengaturannya dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Pasal 85, 86 ayat (1) dan (2) dan 87 ayat (1) dan (2) dimana pasal-pasal KHI tersebut berarti:
a. Sekalipun ada Harta Bersama dalam Perkawinan, tetapi bisa saja ada harta masing-masing, yang bisa berupa harta bawaan sebelum perkawinan, harta warisan yang diperoleh setelah perkawinan, ada hadiah yang diterima salah satu pihak ketika dalam perkawinan, atau bisa juga karena diperjanjikan dalam Perjanjian Perkawinan.
b. Bahwa terhadap harta-harta pada poin a, tidak ada percampuran, dan masing-masing berhak mengakuinya sebagai harta pribadinya. Dan berhak bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri.
Dengan demikian jika ada ahli waris yang meminta dilakukannya pembagian warisan bapak, maka hanya harta milik bapak sajalah yang bisa dibagikan. Sedangkan milik Ibu, dipisahkan. Secara teknis memang agak repot, jika ingin dibagikan langsung, dan yang perlu diingat juga, bahwa sekalipun Ibu sudah menerima ½ dari Harta Bersama, beliau masih berhak atas bagian dalam kedudukannya sebagai istri (sebesar 1/8 dari Harta Warisan Bapak, jika ada anak). Sesuai dengan ketentuan Hukum Islam yang berlaku.
Demikian jawaban dari kami Jaksa Pengacara Negara Kejaksaan Negeri Sumbawa Barat, semoga bisa membantu dalam menyelesaikan permasalahan saudara.