Supported by PT. Telkom Indonesia
Sabtu, 23 Nov 2024
Quality | Integrity | No Fees
2023-08-09 09:11:59
Pernikahan dan Perceraian
KEDUDUKAN PERKAWINAN SENTANA DI BALI BERDASARKAN UU PERKAWINAN

Mohon penjelasan, apakah undang-undang perkawinan kita mampu mengakomodasi perkawinan tersebut khususnya dalam pencatatan dicatatan sipil?

Dijawab tanggal 2023-12-06 11:52:34+07

Terima kasih atas kepercayaan Saudara kepada halo JPN. Adapun jawaban Kami atas pertanyaan Saudara adalah sebagai berikut:

Perkawinan sentana atau nyentana dalam adat Bali telah lama menjadi perhatian. Mr. B Ter Haar, misalnya, menuliskan sentana dalam kaitan seorang anak perempuan dijadikan ‘pelanjut keluarga’. Adat Bali pada umumnya patrilineal. Menurut Ter Haar, hanya anak laki-laki yang dapat meneruskan peninggalan bapaknya dan dapat melanjutkan kedudukannya sebagai kepala keluarga. Jika tidak ada anak laki-laki, maka dapatlah seorang anak laki-laki diambil anak, baik oleh si bapak maupun oleh jandanya atas nama dia jika si bapak meninggal. Sebagai gantinya dapatlah si bapak mengangkat anaknya perempuan menjadi sentana. Anak perempuan itu diberikan hak-hak dan kewajiban sebagaimana seorang anak laki-laki tertua (1991: 158). Motif utama nyentana adalah kekhawatiran tidak ada pelanjut keturunan (Soekanto: 1958: tt). Ini berkaitan dengan tingginya penghargaan budaya Bali pada basis patrilineal. Setidaknya, Chidir Ali (1981: 33) dan R. Subekti (1991: 9) memuat yurisprudensi Mahkamah Agung yang mengukuhkan sistem patrilineal itu. Putusan MA No. 200K/Sip/1958 menegaskan bahwa menurut hukum adat Bali, dalam hal seorang ayah mempunyai seorang anak laki-laki, maka anak laki-laki inilah satu-satunya ahli waris.

Yuli Utomo, dalam artikelnya Perkawinan Menurut Hukum Adat Bali di blog pribadinya, menyebutkan hukum adat Bali mengenai jenis perkawinan (i) mapadik alias meminang atau meminta; (ii) ngerorod, rangkat, atau kawin lari; (iii) nyentana, nyeburin atau selarian; (iv) melegandang, perkawinan secara paksa tanpa cinta.  Perkawinan nyentana adalah bentuk perkawinan berdasarkan perubahan status purusa dari pihak wanita dan sebagai pradana dari pihak laki-laki. Dalam perkawinan nyentana, seorang laki-laki ikut dalam keluarga isterinya, tinggal di rumah isteri, dan semua keturunannya mengambil garis keturunan istri. Van Dijk (1991: 35) menulis bahwa laki-laki tadi ‘dilepaskan dari golongan sanaknya dan dipindahkan ke dalam golongan sanak si perempuan’. Konsekuensinya, anak yang lahir dari perkawinan nyentana itu akan menjadi pewaris dari garis keturunan ibunya. “Jadi anggota yang meneruskan klan bapak mertua,’ tulis Van Dijk.

UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur bagaimana tata tertib adat yang dilakukan mempelai untuk melangsungkan perkawinan. Sahnya perkawinan menurut hukum adat bagi masyarakat hukum adat Indonesia, terutama bagi penganut agama tertentu, tergantung pada agama yang dianut umumnya oleh masyarakat adat tersebut. Jika dilaksanakan menurut hukum agama, maka biasanya perkawinan itu dianggap sah secara adat. UU Perkawinan, menurut Hilman (1990: 28-29), menempatkan hukum agama sebagai salah satu faktor yang menentukan keabsahan perkawinan. Jika tak dilaksanakan menurut hukum agama, maka perkawinan tidak sah. Dalam adat Hindu Bali, perkawinan umumnya dilakukan melalui upacara keagamaan yang disebut mekala-kalaan yang dipimpin pinandita. Mengenai perkawinan nyentana yang Anda sebut, Kadek Jingga dalam tulisan ‘Pro Kontra Perkawinan Nyentana’ di blognya, juga berpendapat perkawinan nyentana sah sepanjang dilakukan atas dasar suka sama suka dan menurut agama yang dianut kedua belah pihak.

Lantas bagaimana pencatatan perkawinan itu di Catatan Sipil? Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (telah direvisi dengan UU No. 24 Tahun 2013) menegaskan perkawinan yang sah berdasarkan peraturan perundang-undangan wajib dilaporkan kepada instansi pelaksana (dalam hal ini Catatan Sipil) paling lambat 60 hari sejak hari tanggal perkawinan. Pasal 67 Peraturan Presiden No. 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil menyebutkan pencatatan perkawinan dilakukan dengan memenuhi syarat antara lain (a) surat keterangan telah terjadi perkawinan dari pemuka agama/pendeta atau surat perkawinan Penghayat Kepercayaan yang ditandatangani oleh Pemuka Penghayat Kepercayaan; (b) KTP suami dan isteri; (c) pasfoto suami dan isteri; dan (d) kutipan Akta Kelahiran suami dan isteri.

Untuk lebih jelasnya apabila Saudara masih memiliki pertanyaan lain yang ingin disampaikan, Saudara dapat berkonsultasi secara langsung ke Pos Pelayanan Hukum Kami yang berada di Kantor Pengacara Negara pada Kejaksaan Tinggi Riau secara gratis. 

Jika anda kurang puas dengan jawaban ini, silakan berkonsultasi lebih lanjut dengan Jaksa Pengacara Negara pada
KT. RIAU
Alamat : Jalan Jendral Sudirman No. 375, Kota Pekanbaru, Provinsi Riau
Kontak : 81314007487

Cari

Terbaru

Hutang Piutang
pembatalan lelang

halo selamat siang kejaksaan sengeti

Pernikahan dan Perceraian
NAFKAH ANAK

Halo Bapak/Ibu. Perkenalkan nama saya

Pertanahan
Jual Beli Tanah dan Bangunan

Halo Bapak/Ibu, perkenalkan saya Iwan

Pernikahan dan Perceraian
perceraian

Min ijin bertanya, mengenai nafkah ba

Hubungi kami

Email us to [email protected]

Alamat

Jl. Sultan Hasanuddin No.1 Kebayoran Baru Jakarta Selatan - Indonesia
© 2024 Kejaksaan Republik Indonesia.