Terima kasih atas kepercayaan Saudara kepada halo JPN. Adapun jawaban Kami atas pertanyaan Saudara adalah sebagai berikut:
Kitab Undang-Undang Perdata
Perjanjian menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Perdata (KUHPerdata), adalah:
Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:
1.Kesepakatan para pihak
Kesepakatan berarti ada persesuaian kehendak yang bebas antara para pihak mengenai hal-hal pokok yang diinginkan dalam perjanjian. Dalam hal ini, antara para pihak harus mempunyai kemauan yang bebas (sukarela) untuk mengikatkan diri, di mana kesepakatan itu dapat dinyatakan secara tegas maupun diam-diam. Bebas di sini artinya adalah bebas dari kekhilafan (dwaling, mistake), paksaan (dwang, dures), dan penipuan (bedrog, fraud). Secara a contrario, berdasarkan Pasal 1321 KUHPerdata, perjanjian menjadi tidak sah, apabila kesepakatan terjadi karena adanya unsur-unsur kekhilafan, paksaan, atau penipuan.
2.Kecakapan para pihak
Menurut Pasal 1329 KUHPerdata, pada dasarnya semua orang cakap dalam membuat perjanjian, kecuali ditentukan tidak cakap menurut undang-undang.
3.Mengenai suatu hal tertentu
Hal tertentu artinya adalah apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak, yang paling tidak barang yang dimaksudkan dalam perjanjian ditentukan jenisnya. Menurut Pasal 1333 KUHPerdata, objek perjanjian tersebut harus mencakup pokok barang tertentu yang sekurang-kurangnya dapat ditentukan jenisnya. Pasal 1332 KUHPerdata menentukan bahwa objek perjanjian adalah barang-barang yang dapat diperdagangkan.
4.Sebab yang halal
Sebab yang halal adalah isi perjanjian itu sendiri, yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh para pihak. Isi dari perjanjian itu tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun dengan ketertiban umum. Hal ini diatur dalam Pasal 1337 KUHPerdata.
Maka dari itu, menurut Hukum Perdata Barat (KUHPerdata), perjanjian itu merupakan perbuatan yang mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya dengan satu orang atau lebih lainnya.
Hukum Islam
Akad menurut Gemala Dewi, Wirdyaningsih dan Yeni Salma Barlinti dalam bukunya Hukum Perikatan Islam di Indonesia (hal. 45), adalah salah satu istilah dalam Al-Quran yang berhubungan dengan perjanjian. Perjanjian dalam Al-Quran tersebut adalah: al-aqdu (akad) dan al-ahdu (janji).
Sementara itu, pengertian akad secara bahasa adalah ikatan, mengikat. Dikatakan ikatan (al-rabth) maksudnya adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah satunya pada yang lainnya hingga keduanya bersambung dan menjadi seperti seutas tali yang satu.
Istilah al-aqdu (akad) terdapat dalam QS. Al-Maidah (5):1, bahwa manusia diminta untuk memenuhi akadnya. Menurut Fathurrahman Djamil sebagaimana dikutip oleh Gemala Dewi, Wirdyaningsih dan Yeni Salma Barlinti, istilah al-aqdu (akad) ini dapat disamakan dengan istilah verbintenis (perikatan) dalam KUHPerdata. Sedangkan istilah al-ahdu dapat disamakan dengan istilah perjanjian atau overeenkomst, yaitu suatu pernyataan dari seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu yang tidak berkaitan dengan orang lain.
Para ahli Hukum Islam (jumhur ulama) memberikan definisi akad sebagai: pertalian antara Ijab dan Kabul yang dibenarkan oleh syara yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya.
Akad menurut Irma Devita, dalam bukunya Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Memahami Masalah Akad Syariah (hal.2), adalah perjanjian tertulis yang memuat ijab (penawaran), dan qabul (penerimaan).
Irma Devita lebih lanjut menjelaskan bahwa suatu pelaksanaan akad atau kontrak antara kedua belah pihak juga harus didasarkan pada asas: sukarela (ikhtiyari), menepati janji (amanah), kehati-hatian (ikhtiyati), tidak berubah (luzum), saling menguntungkan, kesetaraan (taswiyah), transparansi, kemampuan, kemudahan (taisir), itikad baik dan sebab yang halal. Prinsip-prinsip tersebut sebenarnya hampir sama dengan asas hukum perjanjian berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia, yang menurut Prof. Mariam Darus Badrulzaman, S.H., di dalamnya mengandung asas kepercayaan, kekuatan mengikat, persamaan hukum, keseimbangan, kepastian hukum, moral, kepatutan dan kebiasaan.
Jadi apa bedanya akad syariah dengan perjanjian konvensional? Menurut Irma Devita, inti perbedaannya adalah dalam akad syariah dianut prinsip yang tidak dianut oleh hukum perjanjian pada hukum positif, yaitu:
1.Tidak berubah (konstan)
Yang dimaksud dengan tidak berubah adalah mengenai nilai objek jual belinya (dalam hal perjanjian jual beli atau proporsi bagi hasil (nisbah) dalam perjanjian kerja sama bagi hasil). Pada konsep dasarnya, prinsip syariah tidak menganggap uang sebagai komoditas. Oleh karena itu, tidak dikenal adanya prinsip time value of money.
2.Trasparan
Transparan artinya tidak ada tipu muslihat, semua hak dan kewajiban masing-masing pihak diungkap secara tegas dan jelas dalam akad perjanjian. Pengungkapan hak dan kewajiban ini terutama yang berhubungan dengan risiko yang mungkin akan dihadapi masing-masing pihak.
Jadi akad adalah perjanjian tertulis yang memuat ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan).
Istilah al-aqdu (akad) dapat disamakan dengan istilah verbintenis (perikatan) dalam KUHPerdata. Sedangkan istilah al-ahdu (janji) dapat disamakan dengan istilah perjanjian atau overeenkomst.
Pada dasarnya, prinsip-prinsip akad sebenarnya hampir sama dengan asas hukum perjanjian berdasarkan hukum positif yang diatur dalam KUHPerdata yang berlaku di Indonesia.
Demikian Kami sampaikan, apabila Saudara masih memiliki pertanyaan lain yang ingin disampaikan, Saudara dapat berkonsultasi secara langsung ke Pos Pelayanan Hukum Kami yang berada di Kantor Pengacara Negara pada Kejaksaan Negeri Dumai secara gratis.