Saya tinggal di Desa Turan tiging, Lebong, Bengkulu. Yang ingin saya tanyakan adalah jika seseorang telah menikah sah secara agama dan negara, kemudian dituntut membayar utang adat karena perkawinan berupa 3 (Tiga) ekor ayam atau hewan yang berkaki empat, kemudian hal tersebut memberatkan secara ekonomi bagi orang tersebut, bagaimana ketentuan hukumnya jika tidak mentaatinya? Apakah kedudukan hukum adat di bawah atau di atas hukum negara yang berlaku di Indonesia?
Berdasarkan UU Perkawinan yang diubah dengan UU No. 16 Tahun 2019 dan PP No.9 Tahun 1975, perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat didesa Anda adalah sah, karena telah dilakukan berdasarkan hukum masing-masing agama dan dicatatkan berdasarkan hukum masing-masing agama dan dicatatkan berdasarkan hukum negara melalui penandatanganan akta perkawinan oleh kedua mempelai sesaat setelah perkawinan dilangsungkan.
Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU Perkawinandan Pasal 11 PP No. 9 Tahun 1975 dengan ketentuan berikut:
Pasal 2 UU Perkawinan:
1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu;
2. Tiap-Tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 11 PP No. 9 Tahun 1975:
Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi.
Menjaawab pertanyaan anda mengenai permintaan bagi masyarakat yang menikah tersebut untuk membayar untang berupa 2 ekor ayam atau hewan berkaki empat, kami asumsikan bahwa itu sebagai utang perkawinan adat atau pernikahan adat. Adapun hutang tersebut sesuai dengan kebiasaan setempat untuk dibayar oleh masyarakat di desa Anda. Menurut hemat kami, utang adat dianggap sebagai kewajiban dan merupakan salah satu dari pranata hukum adat. Karena hukum adat ini tidak tertulis, dengan demikian tidak dapat dilakukan penegakan hukum oleh aparat negara. Hal ini merupakan cerminan aasa legalitas, yaitu tiada suatu perbuatan yang dapat dihukum jika tidak ada Undang-Undang yang mengaturnya sebagaimana diterangkan oleh Moeljatno dalam buku Asas-Asas Hukum Pidana. Meskipun demikian, negara mengakui eksistensi hukum adat sebagaimana diatur dalam Pasal 18 B Ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan:
"Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang."
Sehingga dapat dipahami bahwa posisi hukum adat ini tidak lebih tinggi dari hukum negara, namun diakui oleh negara dan masyarakat di berbagai wilayah Indonesia. Oleh karena itu, penegakan atas pelanggaran hukum adat kemudian menjadi tanggung jawab masyarakat hukum adat tersebut dalam berbagai bentuk, misalnya membayar gantu rugi, memberikan benda tertentu, mengadakan acara adat (selamatan), hukuman badam, hingga meminta maaf.
Berdasarkan uraian diatas, perkawinan di desa Anda tentu tetap sah menurut hukum, meski belum membayar utang adat, karena sudah sesuai dengan ketentuan UU Perkawinan dan perubahannya.