Saya mempunyai saudara sepupu perempuan yang sudah 3 (tiga) bulan yang lalu cerai dengan mantan suaminya karena permintaan dari pihak perempuan.
Setelah bercerai, mantan suami dari saudara sepupu perempuan saya tidak lagi menafkahi mantan istrinya. Apakah hal tersebut diperbolehkan ? apakah saudara sepupu perempuan saya bisa menuntut mantan suaminya?
Terima kasih.
Kewajiban Mantan Suami Menafkahi Mantan Istrinya Pasca Perceraian.
Kewajiban mantan suami pasca memberi nafkah pasca perceraian merupakan salah satu akibat perceraian yang pengaturannya dapat kita lihat dalam Pasal 41 c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) yang berbunyi :
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Dari bunyi pasal tersebut dapat kita ketahui bahwa kewajiban mantan suami menafkahi mantan istri itu ditentukan oleh pengadilan. Hal ini bergantung pertimbangan hakim. Jadi, menjawab pertanyaan saudara, jika pengadilan tidak mewajibkan mantan suami untuk menafkahi mantan istrinya, maka mantan suami itu tidak menafkahi mantan istrinya.
Lebih khusus lagi, dalam Islam diatur bahwa bila perkawinan putus karena talak (karena kehendak suami), maka bekas suami wajib memberi nafkah dan kiswah (pakaian) kepada bekas istri selama dalam iddah.
Kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba'in (talak yang tidak bisa rujuk sebelum istri menikah dengan orang lain terlebih dulu) atau nusyuz (istri durhaka kepada suami) dan dalam keadaan tidak hamil.
Ini artinya, secara a contrario, jika memang perceraian karena kehendak istri, hakim dapat saja memutus untuk tidak mewajibkan suami memberi nafkah kepada bekas istrinya
Jika Menolak Putusan Pengadilan untuk Menafkahi Mantan Istri
Namun, apabila pengadilan telah mewajibkan mantan suami untuk menafkahi mantan istrinya namun ia menolaknya, maka hal itu merupakan bentuk pembangkangan atas putusan pengadilan. Terkait hal ini, Pasal 196 HIR menyebutkan bahwa :
Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan itu dengan damai, maka pihak yang menang memasukkan permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat, kepada ketua pengadilan negeri yang tersebut pada ayat pertama pasal 195, buat menjalankan keputusan itu Ketua menyuruh memanggil pihak yang dikalahkan itu serta memperingatkan, supaya ia memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan hari.
Jadi, apabila mantan suami tidak mau menjalankan putusan Pengadilan Agama, maka langkah yang dapat dilakukan adalah mantan istri mengajukan permintaan kepada Ketua Pengadilan Agama tersebut agar Ketua Pengadilan memanggil dan memperingatkan mantan suami agar memenuhi isi putusan tersebut dan bukan dengan somasi.
Karena berdasarkan Pasal 195 HIR, pelaksanaan putusan di pengadilan tingkat pertama adalah atas perintah dan dengan pimpinan ketua pengadilan yang dalam prakteknya dijalankan oleh panitera.