Supported by PT. Telkom Indonesia
Senin, 23 Des 2024
Quality | Integrity | No Fees
2022-06-24 10:23:19
Hutang Piutang
PERJANJIAN UTANG PIUTANG

min saya ingin bertanya beberapa pertanyaan mengenai Hutang Piutang , ya itu 

  1. Apabila tidak ada perjanjian utang piutang secara tertulis, dapatkah pihak lawan dituntut di pengadilan ?
  2. bagaimana kedudukan utang dan harta bersama dalam poligami?
  3. Apakah debt collector dalam melakukan penagihan utang dapat mengambil barang milik orang debitu secara paksa ?
Dijawab tanggal 2022-06-25 22:53:59+07

Dear Bapak/Ibu Syahril Ramdhan

Kami akan menjawab pertanyaan diatas:

  1. Apabila tidak ada perjanjian utang piutang secara tertulis, dapatkah pihak lawan dituntut di pengadilan ?

Jawab:

  • Utang piutang sebagai suatu perjanjian tunduk pada syarat sah sebagaimana ditentukan Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu sepakat pihak yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, terdapat suatu hal tertentu, dan terdapat suatu sebab yang halal.
  • Berdasarkan ketentuan tersebut, tidak terdapat syarat yang mengharuskan suatu perjanjian dibuat secara tertulis. Dengan kata lain, perjanjian yang dibuat secara lisan juga mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya.
  • Dalam proses pembuktian suatu perkara perdata, lazimnya alat bukti yang dipergunakan oleh pihak yang mendalilkan sesuatu sebagaimana ditentukan Pasal 164 HIR adalah alat bukti surat, karena dalam suatu hubungan keperdataan, surat sengaja dibuat dengan maksud untuk memudahkan proses pembuktian, apabila di kemudian hari terdapat sengketa perdata antara pihak-pihak yang terkait.  
  • Namun demikian, dalam hukum acara perdata diatur 5 (lima) alat bukti sebagaimana ditentukan Pasal 1866 KUHPerdata dan Pasal 164 HIR, yaitu surat, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Jadi apabila seseorang ingin menuntut pihak lain oleh karena tidak membayar hutang berdasarkan perjanjian utang piutang perjanjian lisan tersebut, misalnya bukti transfer atau kuitansi bermeterai, dan lain sebagainya.

     2. Bagaimana kedudukan utang dan harta bersama dalam poligami?

Jawab:

  • Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) menganut asas monogami, nyatanya praktik poligami banyak terjadi di Indonesia. UU Perkawinan sendiri menganut asas monogami di mana perkawinan dengan hanya seorang suami dan seorang istri. Hal yang tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan, yang mengatur sebagai berikut: Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan: “Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.”
  • Asas perkawinan monogami yang dianut dalam UU Perkawinan tersebut dibolehkan untuk disimpangi sepanjang memenuhi ketentuan- ketentuan yang dipersyaratkan oleh undang-undang. sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan, yang mengatur sebagai berikut: Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan: “Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari 11 seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.”
  • Asas perkawinan monogami yang diperluas tersebut diperjelas dalam Angka 4 huruf c Penjelasan Umum UU Perkawinan yang mengatur sebagai berikut: “Undang-undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian, perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal ini dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan.”
  • Asas perkawinan monogami yang diperluas tersebut juga ditegaskan dalam Pasal 56 ayat (1) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
  • Apabila demikian menimbulkan suatu problematika hukum 12 berkaitan bagaimana status utang dan harta bersama saat suami melakukan poligami? UU Perkawinan mengatur bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama (Pasal 35 ayat 1 UU Perkawinan). Namun, KHI memperjelas bahwa adanya harta bersama dalam perkawinan tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri (Pasal 85 KHI);
  • Oleh karenanya, pertanggungjawaban terhadap utang suami atau istri dibebankan pada hartanya masing-masing (Pasal 93 ayat 1 KHI). Akan tetapi, pertangungjawaban terhadap utang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama (Pasal 93 ayat (2) KHI). Dalam hal harta bersama tidak mencukupi, maka kemudian dibebankan kepada harta suami (Pasal 93 ayat 3 KHI)), baru setelahnya apabila masih tidak mencukupi dibebankan kepada harta istri (Pasal 93 ayat (4) KHI).
  • Terkait dengan poligami, harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri (Pasal 94 ayat 1 KHI) yang perhitungannya dimulai 13 pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, yang ketiga, atau yang keempat (Pasal 94 ayat (2) KHI).
  • Berdasarkan uraian di atas, jika utang yang dimaksud adalah utang pribadi istri kedua, maka pertanggungjawabannya diambil dari harta benda pribadi istri kedua dan bukan harta bersama.
  • Akan tetapi, apabila utang tersebut adalah utang untuk kepentingan keluarga, maka dapat diambilkan dari harta bersama. Akan tetapi, istri kedua tidak memiliki kesempatan hukum apapun untuk menuntut istri pertama memanfaatkan harta bersama dari perkawinan dengan istri pertama tersebut untuk mempertanggungjawabka n beban utang istri kedua dan suaminya, karena harta bersama antara suami dan istri pertama dengan harta bersama suami dan istri kedua adalah masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.

     3. Apakah debt collector dalam melakukan penagihan utang dapat mengambil barang milik orang debitur                 secara paksa? 

  • Mengenai debt collector yang mengancam akan melakukan penyitaan, anda sebaiknya tidak 5 debitur secara paksa? Hal ini mengingat debt collector yang mendapat kuasa dari kreditur untuk menagih utang tidak boleh menyita paksa barang- barang milik debitur. Sebab, pada prinsipnya, penyitaan barang-barang milik debitur yang wanprestasi hanya bisa dilakukan atas dasar putusan pengadilan.
  • Perbuatan debt collector yang melakukan penyitaan atau mengambil secara paksa barang- barang milik debitur secara melawan hukum dapat dikategorikan perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) dan apabila perbuatan tersebut dilakukan dengan kekerasan dan ancaman kekerasan, maka dapat dikategorikan perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 365 ayat (1) KUHP yang mengatur sebagai berikut: Pasal 362 KUHP: “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling 6 banyak sembilan ratus rupiah” Pasal 365 ayat (1) KUHP: “Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri.”
  • Secara eksplisit tidak terdapat regulasi yang mengatur tentang kode etik penagihan debt collector, namun terdapat ketentuan yang mengatur mengenai etika penagihan sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/17/DASP tanggal 7 Juni 2012 perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/10/DASP perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu sebagai berikut: Tenaga penagihan dalam melaksanakan penagihan mematuhi pokok-pokok etika penagihan sebagai berikut: a. menggunakan kartu identitas resmi yang dikeluarkan Penerbit Kartu Kredit, yang dilengkapi dengan foto diri yang bersangkutan; b. penagihan dilarang dilakukan dengan menggunakan cara ancaman, kekerasan dan/atau tindakan yang bersifat mempermalukan Pemegang Kartu Kredit; c. penagihan dilarang dilakukan dengan menggunakan tekanan secara fisik maupun verbal; d. penagihan dilarang dilakukan kepada pihak selain Pemegang Kartu Kredit; penagihan menggunakan sarana komunikasi dilarang dilakukan secara terus menerus yang bersifat mengganggu; e. penagihan hanya dapat dilakukan di tempat alamat penagihan atau domisili Pemegang Kartu Kredit; f. penagihan hanya dapat dilakukan pada pukul 08.00 sampai dengan pukul 20.00 wilayah waktu alamat Pemegang Kartu Kredit; dan g. penagihan di luar tempat dan/atau waktu sebagaimana dimaksud pada huruf f) dan huruf g) hanya dapat dilakukan atas dasar persetujuan dan/atau perjanjian dengan Pemegang Kartu kredit terlebih dahulu.
Jika anda kurang puas dengan jawaban ini, silakan berkonsultasi lebih lanjut dengan Jaksa Pengacara Negara pada
KN. MANADO
Alamat : Jalan Pemuda No. 4 Sario Kota Manado
Kontak : 82259759294

Cari

Terbaru

Hutang Piutang
Hutang Orang Tua

Ayah saya dulu meminjam uang ke bank

Hukum Waris
Tanah Warisan Tidak Bersertifikat

Kami memiliki sebidang tanah yang ber

Hutang Piutang
Apakah pesan WhatsApp bisa dijadikan bukti perjanjian utang piutang?

Bagaimana cara menuntut pengembalian

Hutang Piutang
Teman Saya Meminjam Uang Pakai Nama Saya

Halo Bapak/Ibu saya ingin bertanya.

Hubungi kami

Email us to [email protected]

Alamat

Jl. Sultan Hasanuddin No.1 Kebayoran Baru Jakarta Selatan - Indonesia
© 2024 Kejaksaan Republik Indonesia.